Oleh : Dr Surfa Yondri, ST, SST, Mkom – Program Doktor (S-3) Prodi Pendidikan Teknologi Kejuruan Pascasarjana UNP
Pendidikan tidak terlepas dari inovasi, kehidupan manusia yang selalu berkembang dinamis dalam konsep on going process menuntut pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia akan pendidikan berkualitas seiring dengan keharusan menyikapi tantangan sebagai akibat dari adanya perubahan. Pendidikan senantiasa mengalami keseimbangan dengan perubahan tersebut.
Pelaku pendidikan tidak dapat lengah dari inovasi sebagai upaya dalam menyelesaikan masalah dalam pendidikan agar tidak merugikan subjek didik, penyelenggara maupun pengguna hasil pendidikan. Supaya seimbang dengan kebutuhan pengguna lulusan lembaga pendidikan, maka bekal kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna lulusan adalah satu keharusan.
Penguasaan tiga literasi ini telah menjadi tolok ukur kualitas lulusan dan sukses berkiprah di industri atau tidak. Dari ketiga literasi utama tersebut, literasi humanity dipandang menjadi kemampuan penting yang terkait dengan karakter unggul manusia abad 21 dengan ciri Creative, Critical thinking, Communicative, dan Collaborative atau sering disebut dengan literasi 4C.
Keutamaan dalam menanamkan keterampilan 4C bagi peserta didik merupakan upaya untuk menjawab tantangan perubahan IPTEK dan menanggulangi masalah-masalah dalam pendidikan, termasuk masalah tidak relevannya mutu lulusan dengan kemampuan yang diinginkan industri. Dan, masalah klasik yang tidak luput dari kemelut pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan vokasi dan kejuruan salah satunya adalah persoalan lulusan yang menganggur.
Saat ini masih ditemui fakta lulusan yang tidak terserap industri dengan berbagai fenomena kenyataan dan penyebab. Data statistik menunjukan lulusan pendidikan vokasi tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menduduki peringkat satu dalam persoalan ini, kemudian lulusan pendidikan vokasi tingkat Diploma I/II/III menduduki peringkat dua sebagai lulusan terbanyak yang tidak terserap oleh dunia kerja.
Data ini menjadi tamparan bagi pelaku pendidikan vokasi, karena sejogyanya pendidikan vokasi bertujuan secara filosofis untuk menciptakan lulusan berkompetensi kerja yang siap pakai. Proses pendidikan pada pendidikan vokasipun telah diupayakan untuk pencapaian kompetensi kerja yang tersusun dalam kurikulum pendidikan yang terus direvisi dan diperbaiki berkala.
Namun persoalan pengangguran ini masih menjadi tantangan yang menjadi pesoalan lama serta sering menjadi momok dalam pembahasan tentang pendidikan vokasi. Fakta yang paling sering dikeluhkan adalah bahwa lulusan pendidikan vokasi adalah kesiapan kerja yang rendah. Kebutuhan akan kemampuan lulusan untuk menyesuaikan tuntutan industri dan perkembangan teknologi di industri, membuat pendidikan vokasi harus diselenggarakan dengan strategi yang jitu untuk meningkatkan kesiapan kerja lulusan.
Link and match antara pendidikan tinggi vokasi dengan dunia kerja menjadi kunci keberhasilan dalam pencapaian lulusan yang terserap dunia kerja. Hal ini tidak saja dengan dunia industri dan kerja tapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat. Perguruan Tinggi dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran mencakup aspek sikap (Attitude), pengetahuan (Knowledge), dan keterampilan (Skill) secara optimal dan selalu relevan.
Pembelajaran yang menerapkan sistem dunia kerja dianggap bisa memberikan pengalaman kepada peserta didik, sehingga pembelajaran seperti ini harus dirancang sedemikian rupa agar berjalan dengan lancar. Metode pembelajaran yang inovatif dan selaras dengan dunia industri menjadi konsep pembelajaran teaching factory yang bertujuan untuk melatih peserta didik memanajemen waktu, kompetensi keahlian, menanamkan mental kerja dan menciptakan produk yang memiliki standar industri.
Secara teoritis teaching factory dalam proses pengembangan menyesuaikan dengan unit produksi dalam penyelenggaraan praktik peserta didik, memberikan kesempatan kepada mahasiswa teknik untuk dapat mengembangkan keterampilan dan kompetensi mereka dengan terlibat langsung ke dalam lingkungan industri serta bertujuan untuk menghadirkan lingkungan produksi nyata ke dalam kelas dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berlatih menangani masalah nyata.
Selama ini perguruan tinggi yang lebih aktif dalam mengajak industri untuk bekerjasama. Kedua pihak seling mengalami kesulitan dalam merumuskan kesepakatan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Untuk itu, sangat dibutuhkan dorongan dari pemerintah kepada industri dan dunia kerja untuk pelaksanaan teaching factory karena pemerintah memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membuat suatu kebijakan yang dapat memberikan keuntungan.
Dibutuhkan kerjasama agar kegiatan praktik yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan produk diperlukan untuk memajukan usaha yang dilakukan oleh dunia industri, sehingga mendapatkan keuntungan dengan penerapan teaching factory. Kemampuan kreativitas dan inovasi ini diperlukan agar mahasiswa dapat bersaing dalam pasar kerja pada abad 21, terutama semenjak kehadiran internet.
Selayaknya, perkembangan internet tidak hanya dimanfaatkan untuk produksi dan pemasaran di industri dan dunia kerja, tetapi juga dimanfaatkan untuk mendukung proses pembelajaran di dunia pendidikan. pengajaran dan pembelajaran online telah menjadi semakin umum di institusi pendidikan tinggi. Saat ini karena adanya pandemi Covid-19, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia sudah memiliki sistem yang mendukung pembelajaran secara online (Learning Management System/LMS).
Di saat pandemi Covid-19 ini, setiap perguruan tinggi juga berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran online. Seiring dengan itu, institusi pendidikan akan terus terdorong untuk memperluas program pembelajaran online mereka dan akan semakin banyak pendidik yang peduli dengan kualitas pembelajaran online tersebut.
Penerapan teaching factory sendiri juga belum dioptimalkan bagi mahasiswa untuk mengembangkan kreatifitas dan daya inovasi mahasiswa dalam mencapai kompetensi manusia abad 21, sehingga industri menjadi kurang mendapatkan manfaat untuk pengembangan produk dari institusi pendidikan. Untuk itu, perlu inovasi pembelajaran yang memadukan unsur ketercapaian tujuan pendidikan secara filosofis tanpa mengesampingkan kualitas peserta didik yang sesuai dengan tantangan masa.
Inovasi teaching factory Model IR 4.0 tidak menghilangkan proses teaching factory yang ada, namun proses dan kegiatan dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun dengan menyempurnakan melalui unsur entrepreneurship di dalamnya. Proses identifikasi kebutuhan pasar dilakukan dengan prinsip model project based learning. Proses pembuatan produk atau pelayanan jasa mengunakan prinsip model production based learning dan mencirikan pembelajaran abad 21.
Layaknya sebuah model pembelajaran, teaching factory Model RI. 4.0 ini memiliki sistem sosial yang terdiri dari sekumpulan tindakan dimana terjadinya interaksi antara satu individu dengan individu lainnya dan selalu tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan belajar. Terjadinya interaksi di kelas, ketika dilakukan presentasi dan diskusi, akan tercipta tukar pendapat antara mahasiswa dalam memecahkan suatu masalah.
Mahasiswa yang lebih mengerti akan memberikan bantuan kepada mahasiswa yang mengalami kesulitan berupa petunjuk menyelesaikan masalah tersebut, maka akan terjadi interaksi karena mahasiswa tersebut akan terbantu oleh temannya sendiri. Sistem sosial akan sangat terasa apabila mahasiswa berada ada pada tahap diskusi kelas, diskusi kelompok dalam menyelesaikan masalah selama pembelajaran berlangsung baik di kelas maupun di laboratorium.
Prinsip reaksi Model pembelajaran Teaching Factory IR 4.0 adalah model pembelajaran dengan pendekatan berpusat kepada mahasiswa (student center). Pelaksanaan Teaching Factory model IR 4.0 ini dibagi dalam kelompok kecil dan pada tahap diskusi mahasiswa dituntut aktif dalam kelompok masing-masing, sementara dosen bertindak sebagai pembimbing (fasilitator) yang siap memberikan bantuan.
Fase | Aktivitas Belajar |
Fase 1:Analisis Produk | Analisis Produk/jasa merupakan awal yang penting pada pembelajaran praktik dan pendidikan vokasi. Produk atau jasa ini dirancang posisi diawal pembelajaran. Dosen/Instruktur dan mahasiswa mengalisis apakah produk yang akan dibuat atau jasa yang akan dikerjakan sesuai dengan kompetensi mata kuliah. Analisis sumber daya internal, kemampuan/kompetensi mahasiswa untuk membuat dan ketersediaan peralatan atau mesin untuk membuatnya. Analisis kekuatan diri harus dipertimbangkan, karena ini berkaitan dengan kualitas produk yang akan dihasilkan. |
Fase 2:PembentukanKelompok Kerja | Pembentukan kelompok kerja (2-3 orang) yang bertujuan untuk menyepakati dan organisasi kerja yang baik agar hasil pekerjaan dari produksi barang atau jasa dapat berjalan dengan maksimal. Pembentukan kelompok kerja ini menjadi sangat penting karena proses kolaborasi dan komunikasi dapat terwujud dengan baik pada proses teaching factory di era revolusi industri 4.0 |
Fase 3:Deal Kerja | Deal kerja ini berkaitan dengan kesepakatan administrasi dan kontrak kerja dengan konsumen. Pengetahuan ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa setelah tamat nanti apabila mereka membuka usaha sendiri. Bentuk dokumen dan kandungan dokumen dari kontrak kerja seringkali tidak menjadi materi dalam pembelajaran di pendidikan vokasi. Melalui penerapan model ini mahasiswa akan belajar bagaimana membuat dokumen-dokumen kontrak kerja. |
Fase 4:Desain dan Perencanaan | Tahapan desain dan perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan kerja, persiapan alat dan bahan, pengaturan waktu dan pembagian tugas kerja. Mahasiswa mesti dilatih untuk memiliki kebiasaan perencanaan kerja yang matang. Perencanaan kerja ini menjadi dasar agar suksesnya setiap tindakan yang akan dilakukan. Pemahaman produk yang sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak kerja merupakan suatu hal yang sangat penting. Oleh karena itu perlunya tahapan desain dan perencanaan sehingga adanya diskusi yang dilakukan oleh kelompok belajar yang telah dibentuk. Pada tahapan ini mahasiswa juga diinsitrusikan untuk menyusun langkah-langkah pengerjaan pembuatan produk, sehingga mereka memiliki pedoman untuk bekerja. Dosen bertindak sebagai konsultan perencana, agar mahasiswa dapat membuat perancanaan kerja yang baik. |
Fase 5:Pengerjaan Produk | Proses pengerjaan produk ini harus sesuai dengan langkah-langkah pengerjaan yang telah dirancang. Penggunaan mesin dan alat harus sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Dosen pada tahapan ini bertindak sebagai pembimbing dan pengawas pelaksanaan pengerjaan produk. Pengawasan yang dilakukan oleh dosen ini sangat penting untuk pengontrolan kualitas produk. Pengawasan penggunaan alat dan mesin juga penting untuk menjaga keselamatan kerja mahasiswa. |
Fase 6:Final Produk | Final produk yang telah dibuat oleh mahasiswa dievaluasi secara bersama oleh dosen dan mahasiswa sebelum diserahkan kepada konsumen atau dipromosikan pada website. Tahapan final produk ini dilakukan dengan presentasi produk dalam seminar kelas. Kritikan dan masukan terhadap produk dapat menjadi evaluasi dari produk yang dikerjakan mahasiswa apakah sesuai dengan kontrak kerja. |
Fase 7:E-commerce | Pemasaran produk yang efektif pada abad 21 ini adalah dengan menggunakan website. Banyak toko-toko online yang sukses dalam memasarkan produknya melalui sistem online ini. Produk yang bersumber dari order konsumen diposting dalam bentuk portofilio, sehingga akan menjadi promosi keberhasilan pembelajaran dan membuat pelanggan baru tertarik untuk memesan produk. Produk dari analisis pasar dipromosikan dan dijual secara online menggunakan e-commerce yang dipasang pada website |
Tabel 1. Model Teaching Factory IR 4.0
Inovasi yang telah dikembangkan ini telah terbukti valid, praktis dan efektif meningkatkan kemampuan literasi baru era revolusi 4,0 pada literasi humanity yaitu pembentukan 4C yaitu Creative, Critical thinking, Communicative, dan Collaborative yang pada dasarnya merupakan jenis softskill yang dapat diterapkan dalam keseharian. Keberhasilan pengembangan inovasi model pembelajaran ini memiliki implikasi bahwa selayaknya setiap pihak mendukung pelaksanaan Teaching Factory Model IR 4.0. Selama proses pembelajaran berlangsung mahasiswa berada dalam kelompok kecil, dan dosen sebagai pembimbing mendatangi setiap kelompok dan memperhatikan cara mahasiswa bekerja dan berdiskusi serta siap membantu jika mahasiswa mengalami kesulitan. Teaching Factory model IR 4.0 memiliki prinsip reaksi yang terjadi dilihat dari tahap mahasiswa melakukan analisis produk, desain dan perencanaan.
Teaching Factory model IR 4.0 ini juga menuntun mahasiswa untuk menghasilkan sebuah produk atau alat dari kegiatan belajar mahasiswa. Selama satu semester atau 16 kali pertemuan, mahasiswa dapat menghasilkan sebuah produk dari kegiatan belajar mereka. Dampak yang dapat muncul dengan penerapan pembelajaran teaching factory adalah munculnya pembelajaran yang menyenangkan, menghadirkan suasana yang mendekati lingkungan dan aktifitas industri melalui kerjasama dengan industri dengan pembelajaran berbasis produk untuk terciptanya lulusan yang kompeten, berkarakter dan berbudaya kerja serta berjiwa wirausaha melalui kegiatan produksi.
Teaching Factory Model RI 4.0 tidak merubah proses pendidikan pada pendidikan kejuruan namun bertujuan membentuk sikap mental lulusan dengan kemampuan berbasis perkembangan teknologi yang nantinya akan menghasilkan lulusan siap kerja dan berwirausaha yang berkemampuan literasi baru era revolusi industri 4.0. (*)
Artikel ini ditulis oleh Dr. (c) Surfa Yondri, ST, SST, MKom berdasarkan disertasi untuk penyelesaian dengan Tim Promotor Prof. Ganefri, Ph.D. dan Co-Promotor Krismadinata, ST, MT, PhD. yang telah lulus diseminarkan pada ujian tertutup tanggal 13 November 2020 pukul 09.00 WIB dengan Tim Penguji yaitu Prof. Dr. Nizwardi Jalinus, Prof. Dr. Ambiar, M.Pd, Dr. Fahmi Rizal, M.Pd., M.T, Dr. Sukardi MT dan Prof. Ir. Muhammad Anshar, Ph.D (Penguji Eksternal dari Politeknik Negeri Ujung Pandang).