LUBUK ALUNG — Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah meresmikan lahan bekas pertambangan pasir menjadi taman ekowisata berbasis air terbaru di Sumbar. Bertempat di Nagari Balah Hilir, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Kamis (17/6/2021).
Peresmian tersebut dihadiri oleh Bupati Padang Pariaman, Plt Dirjen PPKL (Pengendalian Pencemaran Kerusakan Lingkungan ) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ir. Sigit Reliantoro, M.Sc. dan beberapa kepala OPD Sumbar.
Dalam sambutannya, Gubernur Sumbar menyampaikan terima kasih kepada Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia yang telah memberi bantuan dan bimbingan, sehingga berhasil merubah lingkungan bekas tambang menjadi suatu kawasan yang produktif dan sehat kembali.
“Saya ucapkan terima kasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terutama kepada Bupati Padang Pariaman, segala upayanya telah berhasil merubah bekas tambang menjadi objek ekowisata,” kata Mahyeldi.
Gubernur Sumbar menjelaskan, bahwa salah satu permasalahan lingkungan hidup yang hadapi bagi pemerintah adalah penambangan tanpa izin (ilegal) yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat.
Pada satu sisi, aktivitas tambang ini dapat menunjang kebutuhan ekonomi untuk kehidupan dan penghidupan masyarakat.
“Namun pada sisi lain, kita juga melihat bahwa peristiwa penambangan tanpa izin ini, pada akhirnya justru menyebabkan tidak hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah ekonomi masyarakat,” ucapnya.
Masalah lingkungan yang timbul akibat aktivitas penambangan tanpa izin (ilegal) adalah berupa kerusakan lahan. Lahan yang pada awalnya merupakan lahan produktif, seperti ladang, kebun dan sawah.
Namun setelah aktivitas penambangan berakhir, lahan-lahan tersebut menjadi tidak produktif lagi, tidak bisa digarap dan diolah yang pada akhirnya membuat masyarakat tidak lagi bisa mengandalkannya sebagai sumber ekonomi untuk kehidupan dan penghidupannya.
“Kerusakan lahan akibat aktivitas penambangan, juga dapat mengakibatkan tanah longsor seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Solok Selatan, bahkan dalam beberapa kejadian yang diikuti dengan korban jiwa,” ungkapnya.
Salah satu lahan bekas aktivitas penambangan adalah yang berada di Kecamatan Lubuk Alung. Hamparan kerusakan lahan bekas penambangan tanpa izin di tempat kita berkumpul saat ini diperkirakan seluas kurang lebih 16 hektar.
Sebahagian berada di Nagari Balah Hilia, sementara sebahagian lagi berada di Nagari Lubuk Alung. Sebelum adanya aktivitas penambangan, lahan ini terlebih dahulu merupakan kebun-kebun dan kolam-kolam ikan budidaya masyarakat yang merupakan tonggan penopang ekonomi.
“Kita patur bersyukur, hari ini kita bisa melihat Direktorat Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka (PKLAT) telah melakukan pemulihan kerusakan lahan tambang seluas 3,2 hektar di Nagari Balah Hilia ini,” ujarnya.
Saat ini masyarakat bisa menikmati hasil dari upaya pemulihan tersebut. Pada tahun anggaran 2021, upaya pemulihan ini rencananya akan dilanjutkan untuk lahan krang lebih dari 2,9 hektar yang lokasinya terletak di Nagari Lubuk Alung, yang juga merupakan satu kesatuan kesatuan dengan lokasi yang terletak di Nagari Balah Hilia.
“Besar harapan saya, sinergi kita bersama dapat memberikan dukungan bagi pengembangan dan kemajuan masyarakat Lubuk Alung secara umum dan bagi Taman Ekowisata Nagari Balah Hilia secara khusus. Ke depannya, objek ekowisata bisa menggerakan kawasan ini dengan berbagai even wisata dan olahraga,” tukasnya.
Sementara itu, Plt Dirjen PPKL Sigit Reliantoro menjelaskan kegiatan pemulihan lahan bekas tambang rakyat ini, bermula lihat permukaan lahan yang tidak beraturan dan meninggalkan lubang-lubang bekas tambang. Apabila dilihat dari kondisi lahan yang ditumbuhi rumput dan belukar, dengan lubang berair yang ditumbuhi enceng gondok, mengindikasikan lahan ini tidak produktif.
“Padahal sebelum tahun 2005, lahan ini berupa hamparan sawah yang sangat subur dengan saluran air yang tertata. Setelah tahun 2014, tinggal lubang-lubang yang berisi air berwarna coklat, tanah suburnya hilang dan tinggal berpasir. Yang pada akhirnya merusak sempadan sungai dan menurunkan kualitas air sungai,” terangnya.
Dari kondisi kerusakan lahan yang demikian tersebut, pada tahun 2018 bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung menyusun Studi Kelayakan (FS) dan Rancangan Teknik Terinci (DED) melalui proses membangun komunikasi dengan Nagari dan masyarakat. Hasil perancangan tersebut mengarah pemulihan lahan dengan konsep “ecoeduwisata”. Selanjutnya pada tahun 2020, dilaksanakan pemulihan lahan dan menjadi Taman.
“Untuk itulah kami hadir untuk pemulihan lahan ini dilaksanakan dengan tujuan memperbaiki kualitas lingkungan hidup agar fungsinya dalam mendukung tata air menjadi lebih baik,” ujarnya.
Secara ekonomi memberikan alternatif penghasilan bagi masyarakat dan secara sosial budaya menjadi sarana untuk berbagai kegiatan kenagarian dan masyarakat. Konsep “Ekowisata Berbasis Air” ini diterapkan dengan menata lubang tambang agar berfungsi sebagai sarana meningkatkan kualitas air sebelum masuk ke sungai.
Selain sebagai wahana bermain, Sumatera Barat yang dikenal dengan berbagai “lubuk larangan”, maka salah satu lubang dapat ditebar ikan dan dijadikan sebagai lubuk larangan atau atraksi bermain dengan ikan yang berwarna-warni.
Selain itu, Sigit juga menjelaskan, bahwa tempat wisata ini juga sebagai tempat edukasi, wisata ini juga didukung dengan sarana “listrik tenaga surya”. Dengan sarana listrik ini, kegiatan penyiraman dan kebutuhan akan air dapat terpenuhi, sehingga tempat ini nantinya bisa hijau dan mendukung upaya peningkatan kualitas tutupan lahan yang menjadi target Gubernur maupun Bupati sebagaimana dimuat dalam RPJMD.
Lebih lanjut disampaikan oleh Sigit bahwa ke depannya objek ekowisata ini ditargetkan tidak hanya sekedar mendatangkan pengunjung penikmat wisata, namun juga bisa memancing beragam satwa yang berguna bagi keseimbangan dan restorasi lingkungan.
“Ke depannya objek ekowisata ini tidak hanya akan mendatangkan pengunjung, namun juga akan mendatangkan satwa-satwa yang melahirkan habitat baru yang lebih baik. Dengan begitu maka restorasi lingkungan kita akan tetap terjaga,” harapnya.(*)