Sungguh, terlalu cepat, tak ada yang menyangka. Ketika pagi ini sekitar jam 10.00 WIB beredar khabar di berbagai grup whatsapp bahwa senior Kami DR. H. Mafri Amir MA berpulang ke rahmatullah setelah dirawat beberapa hari di Rumah Sakit Hermina Ciputat. Kullu nafsin za ikatul maut. Setiap yang bernyawa pasti akan menemui kematian. Kun Fayakun, kata Allah. Kalau sudah Allah yang berkehendak, kita mau bilang apa..
Saya masih ingat tanggal 16 Oktober 2021 lalu Kami sama-sama hadir ikut mendoa hajatan naik rumah barunya di Kuranji sana. Saat itu banyak yang hadir. Di antaranya Uda Muhammad Mufti Syarfie , Heranof Firdaus Bin Amriel , Rafles Rajo Endah serta banyak lagi.
Pada sekitar 9 Desember Kami mendapat khabar bahwa Beliau terserang stroke. Tiga hari kemudian Kami sempat video call bersama Uda Mafri Amir dari rumahnya di Ciputat Jakarta, karena saat itu Beliau sudah diperkenankan pulang. Saat itu Uda Mafri Amir memanfaatkan fasilitas video call dari HP alumni Semangat di Jakarta yakni Hamdani Hamdani yang dibantu Tarmizi Ayum. Ikut serta saat itu sejumlah alumni Semangat seperti Bang Makmur Hendrik , Zulnadi , Khairul Jasmi Bang Awe Saja Desri Imam Mudo dan Ahmad Zubier.
Meskipun saat itu Uda Mafri tidak bisa bicara, namun Beliau tampak gembira dan bahkan ingin ngomong bersama Kami. Ia juga mengerti dan paham dengan apa yang disampaikan Kawan-kawannya. Termasuk juga pesan dari Bang Makmur Hendrik yang mengatakan ndak usah terlalu memikirkan penyakit ini. “Pokoknya Mafri jaan banyak pikiran. Ndak usah dipikiakan bana panyakik ko. Lawan. Kok dapek memang harus Mafri yang punyo semangat untuk melawan panyakik ko,” ujar Bang Makmur saat itu.
Mafri Amir, nama itu bagi Kami para alumni Harian Semangat khususnya, jelas bukan sembarang nama. Pasalnya di antara tiga Redaktur Kami di Semangat dulu, kurenahnya agak sedikit berbeda dengan Mas Gatot Santoso maupun Uda Zulnadi. Ia berpenampilan tenang, cerdas, suka bercanda meski ia sendiri tidak mau tertawa dengan candaannya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai jago lobby. Di bagian lain, ia juga guru yang yang baik dan menjadi kenangan hebat bagi para yunior serta mahasiswanya di kampus. Khairul Jasmi yang kini jadi Komisaris PT. Semen Padang dan Abdullah Khusairi di beberapa sisi adalah murid langsung dari Beliau
Lelaki alumni IAIN Imam Bonjol Padang yang sekarang jadi Staf Dosen di UIN Jakarta itu memang punya banyak prestasi hebat. Di antara Kami, ia satu-satunya mantan alumni Semangat yang sempat menjadi Staf Ahli di Deputi Menko Kesra maupun sebagai Asisten Staf Khusus Wapres selama 2 periode. Seperti dikatakan Bang H. Syahrul Udjud, SH mantan Walikota Padang di Buku Harian Semangat yang akan terbit, ia merasa terbantu karena Harian Semangat. Karena itu salah satu wartawan Semangat, H. Mafri Amir, dibawanya ke Jakarta dan bergabung Jadi Staf Ahli Menko Kesra dan Staf Khusus Wapres.
Masih seputar Buku Harian Semangat, lewat Uda Mafri pula saya dikenalkan dengan mantan wartawan Harian Merdeka Uda Syahdanur. Dari Beliau berdua saya banyak mendapat masukan, terutama dari Uda Syahdanur yang saat itu juga akan menerbitkan Buku Harian Merdeka yang kedua. Itu pula sebabnya berkat dipertemuka Uda Mafri, hubungan saya dengan Uda Syahdanur menjadi sangat akrab, meski belum pernah berjumpa secara fisik.
Saya juga masih ingat beberapa tulisan di Buku Harian Semangat, terutama yang ditulis Khairul Jasmi dan Gatot Santoso. Seperti ditulis Khairul Jasmi di buku itu, “MA (Mafri Amir) punya mata elang dalam dunia jurnalistik. Konsep berita sosial kontrol tentulah wajib dikuasai wartawan. Namun konsep berita baik agar rakyat tahu bahwa negara sedang membangun, adalah juga baik. Sisi ini sering disuguhkan MA.
MA cepat mengetik, karena berita sudah selesai dalam kepalanya. Mesin tiknya tak pilih-pilih, beda dengan GT yang rapih bersih dan teliti. MA adalah tipikal wartawan yang inspirasinya keluar jika merokok. GT sebaliknya.
MA dan Kepala Dinas PU Sumbar Sabri Zakaria merancang sebuah skenario. Hasilnya dibangunlah bendungan Batanghari yang terkenal itu. Bagaimana caranya? MA melakukan liputan mendalam ke Sijunjung sampai ke ujung negeri. Memotret sawah yang kekeringan, wawancara dengan banyak petani, lalu membuat laporannya di Semangat. Inti laporan itu, Batanghari perlu dibendung, sebab rakyat butuh irigasi. Koran itu dibawa ke Jakarta dan diberikan pada Menteri PU, maka kemudian dimulailah proyek tersebut.
Cerdas, bernas dan bisa mengemas sesuatu menjadi sangat penting itulah ciri khas Mafri Amir. Lelaki yang memulai karir kewartawannya di Harian Semangat sejak tahun 1979 itu memulai dengan naik sepeda ontel. Setelah sempat memakai Vespa, ia kemudian membeli sebuah mobil Kijang bak terbuka. Dari mobil itu pulalah Uda Mafri pandai membawa oto. Hal mana yang sering dicandain oleh Mas Gatot Santoso.
“Di Universitas Semangat, MA (Mafri Amir) saya kenal sebagai sosok yang ulet dan gigih. Mungin karena nasibnya, MA punya fighting spirit lebih, dari rata-rata kami. MA adalah spesialis meneruka lahan berita baru. Dengan teknik canggih, ia ahli merawat komunikasi dengan nara sumber ‘potensial’. Hasilnya, MA lancar mewawancarai narasumber itu, bila saja diperlukannya.
Dengan postur ‘semampai’, MA adalah sosok santun. Penyayang pada para wartawan muda yang se-ulah. KJ adalah salah satu yang beruntung dapat transfer of knowledge dari MA. KJ sering diajak pergi menikam jejak ke pelabuhan kapa gulo. Mungkin karena mereka semazhab. Sama-sama ahli hisap alias perokok. Sebagai pembelajar, KJ disayang MA, karano sangat tidak banyak ulah. Patuh. Banyak tanya, tapi tidak pembantah. “Pai meliput jo Uda MA buliah samo, tapi untuak wawancara khusus, tunggu di lua. Tarimo hasil barasiah sajo…”, begitu kata KJ sambil ketawa ngakak.
Sungguh, menceritakan seorang Mafri Amir, terlalu banyak untuk diceritakan. Termasuk bagaimana seorag Abdullah Khusairi, mahasiswanya di kampus IAIN menceritakan seorang Mafri Amir. “Ia telah memperkenalkan saya dengan Teknik Menulis Tajuk Rencana dan Feature. Hampir seluruh yang diajarkannya saya lahap. Kuliah dengannya, ia sering melucu. Tetapi ia sendiri tidak pernah ketawa dengan guyonnya. Meski kuliah di ruang panas waktu siang tapi tetap menarik untuk diikuti. Betapa ruginya jika tidak masuk.
Latihan menulis dari beliau saya tekuni dengan hati. Meski pun saya pakai mesin ketik dan sering diketawakan karena masih sering memakai kalimat pasif dan salah ketik. Salah ketik adalah stupid mistake ditanamkan sebagai sesuatu yang diharamkan dalam dunia jurnalistik. Hingga ke bangku program doktor pun saya kutip pernyataannya. “Menulis tajuk itu, setengah bersastra setengah lagi berilmiah,” ujarnya di kelas. Saya menyatakan itu kembali di ujian promosi doktor saya, yang ia saksikan sendiri di bangku tamu pada hari itu, tulis Khusairi.
Ya, takkah habis bahan untuk menuliskan tentang seorang Mafri Amir. Tapi hari ini Beliau sudah berpulang ke haribaannya. Selamat jalan Da Mafri. Semoga syurga jannatun naim yang menunggumu. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Al Fatihah… (Nofrialdi Nofi Sastera)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.