100 Hari Berpulangnya H. Mafri Amir, MA Sepertinya Beliau Masih Ada Bersama Kita
Oleh : Rafles Rajo Endah
Pengantar Redaksi :
Hari ini, Senin tanggal 4 April 2022 tepat 100 hari yang lalu, kalangan wartawan Sumatera Barat kehilangan sosok wartawan senior DR. H. Mafri Amir, MA yang menjadi rekan, sahabat dan bahkan guru bagi banyak wartawan lainnya di daerah ini. Untuk mengenang 100 hari kepergiannya, Redaksi menurunkan tulisan Rafles Rajo Endah yang sering menjadi rekan seperjalanan almarhum ke berbagai negara.
###
Senin tanggal 27 Desember 2021 pukul 10.05 WIB telepon WA di HP saya berdering. Sekilas saya lihat penelponnya Pit Adik Mafri. Saya tidak langsung mengangkatnya. Pikiran saya menerawang jauh. Jangan-jangan ini berita buruk.
Kekhawatiran saya akan datangnya berita buruk sangat beralasan. Dua minggu sebelumnya Pit juga me WA saya mengabarkan kalau kakaknya Mafri Amir terserang stroke. “Sekarang kondisinya sudah agak baik Da, sudah dibawa pulang ke rumah” ujar Pit. Dia juga meminta saya untuk memberitahu teman-teman beliau dan memohon do’a untuk kesembuhannya.
“Dari siapa” tanya isteri saya yang duduk persis dihadapan saya. “Dari adik Mafri Amir” jawab saya. “Angkatlah” katanya dengan nada sedikit meninggi. Saya masih terpana, belum siap untuk mengangkat telepon, takut kalau-kalau ada kabar buruk.
Setelah telepon beberapa kali berdering barulah saya memberanikan diri menerimanya. “Ya Pit” sapa saya singkat. Dari balik sana saya sudah mendengar suara seorang wanita sedang sesenggukan menahan tangis.
“Uda sudah dapat kabar” tanyanya. “Belum Pit” jawab saya. “Kabar apa itu Pit” tanya saya sambil berharap semoga bukan kabar buruk. “Benar Uda belum mendapat kabar” tanya Pit seperti menyelidik. “Benar Pit, belum” jawab saya berusaha meyakinkannya. “Uda Mafri sudah dahulu Da” jelasnya seperti terus menahan tangis.
“Innalillahi Wainnaillahi Roji’un”. Hanya itu yang bisa saya ucapkan. Kerongkongan saya serasa tercekat. Airmata pun meleleh. Kabar buruk yang saya takutkan akhirnya datang juga. Sahabat seperjalanan saya DR. H. Mafri Amir. MA telah berpulang Kerahmahtullah.
Beliau adalah seorang wartawan senior anggota PWI Sumatera Barat. Selain itu almarhum juga pernah menjadi dosen IAIN (sekarang UIN) Imam Bonjol Padang, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Asisten Staf Khusus pada Kantor Sekretariat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla periode 2014-2019.
Beberapa saat kami sama-sama terdiam. Setelah agak bisa menguasai diri saya mencoba bertanya kapan dan dimana meninggalnya. “Pukul 09.47 pagi tadi Da, di Rumah Sakit Hermina Ciputat”. Pit pun meminta saya untuk memberitahu teman-teman di PWI Sumbar sekaligus memohonkan maaf untuk kakandanya tercinta.
Tidak menunggu lama, saya pun menuliskan status Berita Duka pada tiga WA Grup teman-teman wartawan. Berita duka yang sama juga saya tulis di status Facebook saya. Dalam hitungan detik komen–komen yang menyatakan turut berdukacita atas meninggalnya rekan Mafri Amir segera memenuhi laman ke tiga WA Grup wartawan tersebut. Begitu juga ucapan duka dan belasungkawa segera memenuhi laman Facebook saya.
Tidak cukup hanya sampai disitu, HP saya seperti tidak pernah berhenti berdering. Telepon dari rekan-rekan wartawan silih berganti masuk menanyakan kesahihan berita duka meninggalnya Mafri Amir yang merupakan rekan, sahabat dan bahkan guru bagi mereka. Semuanya saya jawab dengan suara serak sambil menahan tangis.
Saya sendiri mengenal Mafri Amir sudah cukup lama, sejak tahun 1985. Saat itu saya baru saja dipindahtugaskan dari Penyiar pada Seksi Siaran menjadi Reporter pada Seksi Pemberitaan RRI Padang. Tugas utama saya adalah melakukan liputan berbagai peristiwa, menuliskannya lalu menyiarkannya dalam Paket Warta Berita Berita Daerah RRI Padang pukul 17.30 WIB sore dan pukul 06.30 WIB pagi setiap hari.
Dalam melaksanakan tugas-tugas liputan itulah saya mengenal Mafri Amir sebagai seorang Wartawan Harian Semangat Padang. Belakangan beliau juga menjadi Koresponden Majalah Panji Masyakat terbitan Jakarta yang didirikan Buya Hamka dan dilanjutkan pengelolaannya oleh anak beliau Rusydi Hamka.
Berbagai peristiwa baik yang berskala daerah maupun nasional pernah kami liput bersama. Kami juga pernah sama-sama mengikuti Kunjungan Muhibah KNPI Sumatera Barat ke MBN Negeri Sembilan di Seremban Malaysia tahun 1991.
Dalam rombongan ke negeri jiran ini juga terdapat DR. Ir. H. Basril Basyar, MM (sekarang Ketua DKP PWI Sumbar dan Dosen Fakultas Peternakan Unand) dan Ir. Shadiq Pasadigoe, MM (Mantan Bupati Tanah Datar 2 periode) yang ketika itu sama-sama pengurus KNPI Sumbar.
Ketika rombongan membubarkan diri di Kuala Lumpur Malaysia, sebagian di antaranya ada yang kembali pulang ke Padang via Malaka dan Dumai, ada juga yang pulang via Singapura terus ke Batam dan Padang. Saya dan Mafri Amir memilih melanjutkan perjalanan ke Hatyai di Thailand, lalu kembali ke Kuala Lumpur terus ke Singapura menyeberang ke Batam baru pulang ke Padang.
Kepergian rekan Mafri Amir menghadap Sang Khalik selain membuat duka yang mendalam, juga meninggalkan banyak kenangan yang tidak mungkin dapat saya lupakan.
Sejak tahun 2015 atau beberapa tahun sebelum saya pensiun, kami sepakat untuk melakukan perjalanan keluar negeri alias traveling model backpacker yang biasa dilakoni anak anak muda pecinta wisata berbiaya murah.
Alhasil sejak tahun 2015 sampai 2019 kami sempat berkunjung ke Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan Kamboja. Malah pada tahun 2017 kami traveling ke Hong Kong, Macao, bahkan sampai ke China.
Keinginan untuk traveling ke Hong Kong kami putuskan dalam perjalanan darat dari Bangkok Thailand ke Kuala Lumpur Malaysia via Hatyai di Thailand Selatan akhir Desember 2016. Itu adalah perjalanan akhir tahun kedua kami, setelah sebelumnya akhir tahun 2015 kami berkunjung ke Malaysia dan Singapura.
Dalam perjalanan akhir tahun di Singapura ini kami bahkan sempat merayakan malam pergantian tahun 2016 ke 2017 tepat berada di bawah patung Singa di Merlion Park Singapura.
Pengalaman menarik yang tidak mungkin kami lupakan saat itu adalah kami harus berjalan kaki pada tengah malam di Singapura. Hal itu terpaksa kami lakukan karena ketidakcermatan kami dalam memahami informasi tentang rute kereta api bawah tanah (MRT) Singapura.
Cerita berawal dari kegiatan kami mengikuti perayaan menyambut tahun baru 2017 di Merlion Park Singapura. Seluruh rangkaian kegiatan menyambut tahun baru itu berakhir pukul 00.15 Waktu Singapura.
Setelah itu tidak ada lagi dentuman kembang api raksasa yang membelah langit, tidak ada lagi tiupan terompet yang memekakkan telinga serta tidak ada lagi tepuk tangan kegembiraan menyambut datangnya tahun baru.
Semua orang harus segera keluar dari taman berganti dengan petugas kebersihan yang sudah bersiap-siap memasuki kawasan Merlion Park.
Saya dan Mafri juga bergegas meninggalkan taman menuju stasiun kereta api bawah tanah terdekat. Kami putuskan naik kereta api bawah tanah yang langsung ke Harbour Front yakni pelabuhan laut Singapura menuju Batam.
Celakanya MRT yang kami tumpangi tidak sampai ke Harbour Front. Untuk sampai ke Harbour Front seharusnya kami pindah kereta di salah satu stasiun yang kami lewati.
Dengan langkah gontai kami keluar stasiun tanpa tahu arah yang akan dituju. Beruntung di pintu keluar stasiun masih ada seorang petugas. Dia memberitahu bahwa masih ada tiga stasiun MRT lagi yang harus dilalui sebelum sampai ke Harbour Front.
“Tuan bisa naik taksi malam (Night Taxi)”, katanya. “Cuma ongkosnya tiga kali lipat dari taksi siang” katanya melanjutkan. “Bagaimana Les” tanya Mafri kepada saya. “Coba tanya ke taksinya dulu Ji” saran saya kepada Mafri yang akrab saya panggil dengan sebutan Ji, singkatan dari Haji.
Setelah ditanya, ternyata ongkos taksi borongannya sekitar 50 dollar Singapura atau hampir setengah juta rupiah. “Gila” kata saya, sambil mengajak Mafri jalan kaki saja. “Lai talok dek angku” kata Haji. “Lai” jawab saya meyakinkan.
Maka mulailah kami berjalan kaki sepanjang tengah malam di Singapura. Saat itu waktu menunjukkan hampir pukul 02.00 Waktu Singapura. Setelah berjalan kaki selama hampir tiga jam, diselingi dengan sekali makan dan sekali istirahat di sebuah SPBU kami sampai di Harbour Front sekitar pukul 05.00 Waktu Singapura.
Kami segera mencari tempat istirahat sambil menunggu waktu pelabuhan dibuka yakni pukul 07.00. Tidak ada seorang pun yang berada di pelabuhan pada dini hari itu, kecuali kami berdua.
Untuk menghilangkan kantuk, saya dan Aji saling berkelakar. “Lah sapanjang iko perjalanan awak sajak dari Bangkok, Hatyai, Kuala Lumpur, Johor sampai di Singapura kini ko Ji, bajalan tangah malam di Singapura ko nan paliang berkesan mah Ji” kata saya menghibur diri sambil melepas kepenatan. “Angku alah tapere-pere nampak dek ambo tadi” kata Haji meledek saya.
Saya hanya tertawa kecut menikmati semua gurauan Haji dan “penderitaan” yang baru saja kami lalui. Tepat pukul 08.00 Waktu Singapura kapal ferry yang kami tumpangi membawa kami menyeberang ke Batam, Indonesia.
Kembali ke soal rencana traveling ke Hong Kong. Di atas bis sekelas Bis Patas AC yang membawa kami dari Hatyai Thailand Selatan ke Kuala Lumpur, rekan Mafri Amir iseng bertanya kepada saya. “Tahun muko kama wak lai Les” ujar Haji. “Ke Hong Kong” jawab saya sekenanya sambil menahan kantuk.
“Mantap juo mah” balas Haji. “Serius angku ko” sambungnya. Ditanya serius seperti itu saya pun bangun dari “lalok-layok ayam” . “Serius lah Ji” jawab saya serius. “Kalau baitu buliah ambo rencakan dari jauah-jauah hari soal tiket soal penginapan bagai” tambahnya. “Siaaap Ji” balas saya.
Hari berlalu, bulan berganti, tahun 2017 hanya tersisa tiga bulan lagi. Bulan Oktober Haji menelpon saya. Nada suaranya riang. “Baa ko, lai ka jadi carito Hong Kong ko” tanya Haji dari balik sana. “Jadi lah” jawab saya mantap. “Kalau baitu ambo cari tiket jo hotel dari kini-kini lai. Kalau lah dakek akhir tahun nantik maha lai” , kata Haji.
“Silahkan Ji…” balas saya semakin meyakinkan. Saya pun mempersilahkan rekan Mafri Amir mengurus soal tiket dan penginapan ini sepenuhnya. Artinya saya tinggal beres, tinggal siapkan biaya tiket dan hotel terus transfer dananya ke rekening beliau.
Sebenarnya sejak rencana traveling ke Hong Kong kami putuskan delapan bulan yang lalu, saya benar-benar sudah mempersiapkan diri lahir dan bathin. Untuk persiapan dananya saya ikut arisan atau julo-julo yang dikelola Ibuk Kantin RRI Padang, Buk Del.
Arisan diikuti 10 orang berlangsung selama satu tahun atau 12 bulan dengan setoran masing-masing satu juta rupiah per orang per bulan. Dengan demikian setiap peserta akan menerima uang arisan sebesar 12 juta rupiah.
Saya memilih sebagai penerima arisan yang terakhir yakni bulan Desember 2017 karena dananya akan saya pergunakan untuk traveling ke Hong Kong. Salah seorang peserta arisan adalah H. Heranof Firdaus, S.Sos Ketua PWI Sumbar yang ketika itu masih sama-sama berdinas dengan saya di RRI Padang.
Beberapa hari kemudian Haji Mafri kembali menelpon memberitahu bahwa dia sudah mendapatkan tiket murah dari Jakarta ke Hong Kong dengan Malindo Air seharga kurang dari 3 juta rupiah PP. Hanya saja harus transit selama 10 jam di Kuala Lumpur.
“Tidak apa-apa, nanti kita mampir dulu ke tempat Rifa” kata Haji. Rifa adalah anak perempuan tertua Mafri Amir yang tinggal di Kuala Lumpur mengikuti suaminya yang bertugas sebagai Asisten Dosen di Universiti Malaya, Malaysia.
Sebelum membooking tiket, saya mengusulkan kepada Haji agar perjalanan kami tidak hanya sampai di Hong Kong, tetapi sebaiknya terus ke Macao. Jarak Hong Kong dan Macao tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu sampai satu setengah jam kalau naik Turbo Jet Ferry dari Hong Kong. Usul saya ini diterima oleh Haji.
Maka jadilah kami berangkat ke Hong Kong dari Jakarta via Kuala Lumpur Malaysia. Sebelum berangkat kami membuat kesepakatan tidak tertulis yang isinya antara lain tidak membeli oleh-oleh yang akan membebani bawaan kami yang hanya berupa sebuah ransel atau tas punggung dan sebuah tas pinggang kecil tempat paspor dan surat-surat lain yang diperlukan.
Belanja oleh-oleh dikhawatirkan juga akan membebani keuangan. Selain itu kami juga sepakat akan mencari penginapan berbiaya murah dengan rate maksimal 500 ribu rupiah per malam. Soal biaya makan juga dihitung secara cermat, tidak boleh lebih dari 50 ribu rupiah per orang sekali makan. Demikian pula dengan transportasi lokal, kami juga sepakat hanya akan naik angkutan umum Bis Kota atau Kereta Api.
Singkat kata biaya hidup selama traveling di Hong Kong dan Macao tidak boleh lebih dari 500 ribu rupiah per orang per hari. Kalau saja perjalanan kami menghabiskan waktu 5 hari, maka biaya yang dibutuhkan hanya 2 juta 500 ribu rupiah per orang ditambah tiket pesawat Jakarta – Hong Kong PP masing-masing sebesar 3 juta rupiah. Murah bukan…?
Pukul 02.30 dinihari kami sudah berangkat dari rumah kediaman Mafri Amir di Villa Inti Persada Pamulang, Tangerang Selatan menuju Bandara Soekarno-Hatta. Sesampai di Bandara langsung check in untuk keberangkatan pukul 05.50 WIB.
Sekitar pukul 09.00 Waktu Malaysia kami sudah mendarat di Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Sore harinya setelah istirahat beberapa jam di Kuala Lumpur sembari Haji melepas rindu dengan anak, cucu dan menantunya, kami kembali ke KLIA untuk selanjutnya terbang ke Hong Kong pukul 20.00 Waktu Malaysia.
Penerbangan malam selama empat jam dari Kuala Lumpur ke Hong Kong memberikan sensasi tersendiri bagi kami. “Kama awak ko Les” canda Haji membuyarkan lamunan saya. “Antah, antah kama-kama se” jawab saya.
“Angku yo adoh-adoh se karajo angku, urang sanang-sanang di Padang, angku basusah-susah pai ka Hong Kong, ka taruih lo ka Macao” seloroh Haji. “Manga Haji namuah lo” jawab saya.
Setelah penat bercanda diatas pesawat akhirnya kami sama-sama berkesimpulan bahwa perjalanan ini bukanlah sesuatu yang sia-sia, tetapi sebaliknya suatu perjalanan yang akan memberikan kesan dan kenangan yang tidak akan terlupakan, terutama apabila salah seorang dari kami telah tiada.
Menjelang pukul 00.00 dinihari waktu Hong Kong pesawat yang kami tumpangi soft landing di Bandara Hong Kong International Airport (HKIA) di Lantau Island sebuah pulau di lepas pantai Hong Kong daratan. Karena sudah larut malam, kami memutuskan untuk bermalam saja di Bandara sambil menunggu pagi tiba.
Cukup banyak penumpang “terlantar” yang menginap di Bandara HKIA. Selain kami ada beberapa orang turis bule dan sejumlah tenaga kerja wanita asal Philipina.
Haji Mafri Amir mencoba berbaring di kursi metal yang dingin. Suhu udara di Hong Kong pada saat itu berkisar antara 10 derajat celcius pada malam hari dan 15 derajat celcius pada siang hari. Cukup dingin bagi orang yang terbiasa tinggal di daerah tropis seperti kita di Indonesia.
Sementara Haji memejamkan mata untuk melepas penat, saya justru berkeliling melihat bagian dalam Bandara yang sarat dengan lukisan, ukiran dan ornamen berbagai bentuk yang cukup enak untuk dilihat, tetapi sulit untuk saya mengerti artinya.
Penat berkeliling, saya kembali ke tempat Haji berbaring. Saya pikir dia sudah tertidur lelap akibat kecapean, tetapi saya salah, justru Haji sedang sibuk dengan HP nya. “Ndak lalok Ji” sapa saya.”Ndak, dingin” jawabnya.
Saya sudah tahu kalau kursi itu dingin, makanya saya tidak mau berbaring dan memilih untuk berjalan berkeliling memanaskan badan dan melemaskan otot-otot yang kaku selama empat jam dalam pesawat.
Saya kemudian duduk disamping Haji yang masih juga sibuk dengan HP nya. “Jadi kama rencana awak hari kini Ji” tanya saya mencoba mengalihkan perhatiannya. “Iyo yo, manuruik angku kama wak nan rancak” Haji malah balik bertanya. “Terserah Haji” jawab saya. “Kalau ambo manuruik se nyo” tambah saya lagi.
“Bagaimana kalau kita ke Macao dulu” kata Haji sambil melanjutkan bahwa setelah seharian traveling di Macao nanti kami bisa menginap disana atau balik lagi ke Hong Kong dan menginap di Hong Kong. Kami akhirnya memutuskan akan melanjutkan perjalanan terlebih dahulu ke Macao.
Pagi sekali kami sudah keluar dari Bandara HKIA. Cuaca masih berkabut dan udara masih terasa dingin. Untuk menghangatkan badan kami mampir ke Mini Market untuk membeli segelas kecil kopi panas dan sepotong roti sebagai pengganjal perut.
Perjalanan laut dari Hong Kong ke Macao dengan Turbo Jet Ferry yang berkecepatan tinggi itu hanya memerlukan waktu sekitar satu jam saja. Begitu menginjakkan kaki di Macao, kesan kota tua begitu sangat terasa. Bangunan tua dan kusam mendominasi kawasan pelabuhan. Bahkan gerbang kota yang dibangun Portugis saat berkuasa di Macao terlihat sangat kecil, tidak sebanding dengan bangunan baru yang ada di sekitarnya.
Tujuan pertama kami sesampainya di Macao adalah gedung megah dan mewah Venetian Macau yang berfungsi sebagai hotel dan pusat perjudian terbesar di Asia. Diseberang jalannya terdapat Grand Lisboa dan Casino Lisboa sebuah bangunan besar berbentuk kubah dengan fungsi yang sama.
Cukup lama juga kami melihat berbagai macam jenis perjudian di Macao ini mulai dari Roulette, Bacarat, Poker, Black Jack sampai Slot Machine yang banyak digemari. Namun tidak satupun yang kami pahami cara mainnya. Mungkin karena kami bukan pejudi, he he…
Puas melihat berbagai macam jenis permainan judi kamipun lupa akan waktu. Tak terasa sore sudah menjelang. Tujuan kunjungan kami lainnya yakni Macau Tower yang merupakan bangunan tertinggi di Kota Macao tidak mungkin lagi bisa kami datangi.
Sebenarnya bangunan bulat yang menjulang tinggi mirip menara mesjid itu sudah terlihat dari tempat kami berdiri. Hanya saja untuk kesana butuh waktu, belum lagi menunggu antrian untuk dapat naik ke puncak menara.
Hari sudah mulai berangsur gelap, saya sudah mulai gelisah. Kami belum punya tempat menginap di Macao. Untuk kembali ke Hong Kong juga tidak mungkin. Karena itu saya meminta Haji untuk mencari hotel atau penginapan melalui aplikasi Traveloka.
Alamaaak, semua hotel bertarif murah dan sedang sudah full booked, tinggal hotel berbintang dengan tarif rata-rata diatas satu juta rupiah per malam. Ini tentu tidak sesuai dengan plafond biaya menginap kami yang sudah dipatok tidak lebih dari 500 ribu rupiah per malam.
Mafri masih terus mencari hotel secara online, sedangkan saya memanfaatkan waktu memotret keindahan senja di pusat Kota Macao. Tiba-tiba Haji memanggil saya. “Les, iko adoh hotel 765 ribu, Star City Hotel” katanya. “Cuma lataknya agak jauah, sekitar 6 kilometer dari siko” sambung Haji. “Ndak baa doh Ji, ambiak se lah” jawab saya.
Haji pun membooking hotel dan membayarnya dengan Credit Card American Express miliknya. “Sudah, aman kita” seru Haji lega. Saya juga merasa plong karena hotel sudah didapat. Soal kapan akan ke hotel hanya soal waktu, kapan pun kami mau.
Hari semakin gelap, udara Kota Macau semakin dingin. Kami akhirnya memutuskan sudah saatnya istirahat di hotel. Naik taksi adalah satu-satunya pilihan untuk mencapai hotel walaupun sebenarnya jenis transportasi ini bukan pilihan kami dalam bertraveling.
Mafri menunjukkan nama hotel yang akan kami tuju. “Oh Zhuhai, oke” kata perempuan berwajah tirus pengemudi taksi. Setelah 15 menit berjalan, taksi berhenti di sebuah bangunan mirip ruko kosong, namun mempunyai lorong yang panjang ke dalam.
Sopir taksi mempersilahkan kami turun. “Mana hotelnya” tanya Mafri dalam bahasa Inggris dengan setengah berteriak. “Di Zhuhai” jawab perempuan itu sambil menunjuk ke arah lorong tadi. Lalu saya dengar Mafri seperti berdebat dengan sopir itu. Kemudian dia turun, membayar ongkos taksi sambil menggerutu.
Tentu saja saya juga ikut turun sambil terus mengikuti langkah Mafri menuju lorong. Menjelang masuk lorong, dia berhenti lalu memandang ke arah saya sambil tertawa dan menggaruk-garuk kepala. “Di Chino kironyo hotel awak ko, Zhuhai ko namo kotanyo” kata Mafri seraya menggeleng-gelengkan kepala seperti tidak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi.
“Baa aka lai, lanjut atau batal” tanyanya kepada saya. Kalau lanjut berarti kami harus masuk ke China dengan membayar visa, kalau batal berarti kami akan kehilangan sewa hotel di Zhuhai yang sudah dibayar dan harus mencari hotel baru lagi di Macao yang harganya di atas satu juta rupiah per malam.
“Lanjut saja Ji” tegas saya memberi semangat. Seperti maju tak gentar Haji langsung mendatangani cewek imut petugas imigrasi China yang berdiri di depan pintu masuk lintasan imigrasi sambil menyodorkan paspor. Saya lihat petugas itu menunjuk ke arah tangga disamping gedung. Kami naik ke lantai tiga gedung tersebut, membayar visa terbatas untuk kunjungan selama tiga hari di China.
Selesai urusan visa, kami kembali mendatangi si cewek sambil memperlihatkan paspor masing-masing yang sudah ditempeli visa. Kalau tadi si cewek terlihat cemberut, kali ini dia malah tersenyum sambil dengan ramah mempersilahkan kami berbaris antri masuk ke lintasan imigrasi.
Tidak ada masalah, petugas pria berseragam seperti tentara yang berada di box imigrasi dengan cepat mencap paspor kami sambil tersenyum dan mengangguk. Mungkin maksudnya “Selamat Datang di China Kawan…”
Dari gedung imigrasi kami turun ke bawah melintasi jembatan yang di bawahnya mengalir sungai kecil selebar sekitar 10 meter. Di seberang jembatan terbentang lapangan luas dengan taman-taman bunga yang tertata apik. Kami harus melintasi taman itu terlebih dahulu untuk sampai di jalan raya Kota Zhuhai.
Mengingat malam yang sudah semakin larut dan suhu udara yang semakin dingin, kami ingin segera masuk hotel dan beristirahat. Saya dan Mafri segera masuk ke barisan antrian penunggu taksi yang cukup panjang. Ketika sedang menunggu taksi itulah tanpa bermaksud rasis saya berbisik kepada Mafri. “Indak Chino se nan bisa masuak ka nagari awak doh Ji, awak bisa pulo masuak ka nagari Chino ko nyo” seloroh saya pelan. “Angku adoh-adoh se mah” balas Mafri.
Hanya semalam itu kami di Zhuhai China, besoknya sekitar pukul 10.00 Waktu China kami kembali masuk ke Macao untuk seterusnya pada sore harinya menyeberang ke Hong Kong guna melanjutkan traveling kami yang tertunda di negeri bekas koloni Inggris itu.
Dalam hati saya bergumam, jika ada pepatah yang berkata : “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China” maka saya sudah sampai ke negeri China itu, bukan untuk menuntut ilmu, tapi karena tersesat bersama sahabat saya DR. H. Mafri Amir. MA yang kini telah tiada. Semoga sahabat saya Mafri Amir tenang di Sorga Allah Subhanahuwata’la. Aamiin ya Rabbal’aalamiin..
*Rafles Rajo Endah, Wartawan Senior RRI Padang
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.