Padang, majalahintrust.com – Pemko Bukittinggi bersama para perwakilan pedagang di Kota Bukittinggi menggelar forum diskusi, terkait masalah penolakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2022 Kota Bukittinggi, tentang pengelolaan pasar rakyat.
Dilaksanakan, Selasa (22/11/2022) di Hotel Pangeran Beach di Padang, pada forum diskusi tersebut digagas Dinas Pasar, Koperasi dan UKM dan dipimpin Sekda Bukittinggi Martias Wanto. Perwakilan puluhan pedagang yang hadir juga didampingi Kuasa Hukum Pedagang Pasar, Guntur Abdurrahman.
Diketahui penerapan Perda Nomor 3 tersebut sebelumnya ditolak oleh pedagang yang merasa dirugikan.
Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Bukittinggi, Young Happy mengungkap, Perda tersebut tidak jelas, karena ada kata-kata boleh sewa dan retribusi.
“Sementara Perda, hukum itu mengisyaratkan harus ada kepastian. Kalau mau retribusi ya retribusi, kalau mau sewa ya sewa. Tetapi dalam Perda itu jadi rancu,” tegas dia kepada Padangkita.com di lokasi.
Menurut dia, objek sewa dan objek retribusi memiliki aturan hukum yang berbeda. Jika sewa berlandaskan aturan hukum PP Nomor 27 tahun 2014 dan Permendagri 19 tahun 2016 dan kalau di Kota Bukittinggi berlandaskan Perda Nomor 1 Tahun 2019.
Sedangkan kalau retribusi berlandaskan aturan hukum UU Nomor 28 Tahun 2009, yang telah dicabut menjadi UU Nomor 1 Tahun 2022, namun petunjuk pelaksanaan UU baru ini belum terbit.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pedagang Pasar Guntur Abdurrahman mengungkapkan, setelah pihaknya mendengarkan pemaparan dari tim ahli hukum Pemko Bukittinggi, menurutnya konsep dasar Perda tersebut sudah keliru.
“Ada konsep dasar yang keliru dari mereka. Pemko memahami bahawa pasar ini bisa ditentukan dengan pilihan kebijakan. Artinya apa, Pemko mau menjadikan ini objek retribusi atau objek pemanfaatan supaya bisa diambil sewa, itu bebas, dengan alasan menurut ahli kebijakan pemerintah ini, itu bisa memilih itu,” tegasnya.
Padahal menurut Guntur, dalam konsep negara hukum di Indonesia, kebijakan pemerintah itu dibatasi, yakni dengan aturan.
“Dalam tataran aturan itu sudah jelas soal kedua objek ini. Jika dia objek retribusi, dia tidak bisa dipungut sewa. Sekarang ini bisa milih katanya, tapi coba kita uji, apakah pasar itu bisa menjadi objek sewa, tentu bisa, namun ada catatan apabila pasar itu dikelola oleh BUMD atau pihak ketiga. Ya silahkan saja,” anjur dia.
“Namun jika masih objek itu masih dikelola oleh Pemerintahan Daerah, dia jadi objek retribusi. Jadi tidak bisa bebas memilih,” tagas Guntur lagi.
Dia menegaskan, jika konsep sewa yang diberlakukan berarti konsep negara hukum sudah tak ada lagi, dan sudah diganti oleh Pemko Bukittinggi dengan konsep suka-suka dan ini jelas-jelas melanggar HAM.
Sementara itu, Sekda Bukittinggi Martias Wanto dalam paparan awalnya mengatakan, menurut sejarah pengelolaan pasar di Bukittinggi sebelumnya diatur dengan Perda Nomor 22 tahun 2004 tentang pengelolaan dan retribusi pasar. Lalu pada tahun 2005 diubah menjadi Perda baru.
“Dan pada tahun 2008 ada temuan BPK yang mencap ada yaitu pengelolaan pasar dan retribusi itu salah, harusnya retribusi itu ada pengelolaan sendiri,” terang dia.
Lahirnya Perda Nomor 3 tahun 2022, tentang pengelolaan pasar rakyat telah disahkan sejak 10 Oktober lalu merupakan tindak lanjut menyikapi temuan kerancuan yang direkomendasikan BPK.
“Pada kegiatan ini dilakukan pembicaraan atau kajian bersama antara pedagang dengan Pemko, dengan diikuti juga para ahli terkait,” ujar dia. (r)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.