Budaya 86 dan Jalan Keterbukaan Informasi

Padang, majalahintrust.com – Budaya “86” ternyata masih hidup dan berkembang di tengah semangat reformasi birokrasi dan digitalisasi layanan publik.

“86” merupakan istilah yang lazim dipahami sebagai kompromi informal—yang sering kali melibatkan uang pelicin atau gratifikasi. Ini menjadi semacam kode gelap dalam proses administrasi pemerintahan.

Mulai dari pengurusan dokumen kependudukan, perizinan usaha, hingga pengadaan barang dan jasa. “86” kerap dianggap solusi praktis dalam menghadapi pelayanan yang berbelit. Padahal, praktik ini justru memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap negara, serta memperlebar kesenjangan akses layanan antara oknum yang mampu membayar lebih dan masyarakat biasa.

Budaya “86” adalah bentuk nyata pathology of bureaucracy, yakni penyimpangan dari fungsi pelayanan birokrasi yang ideal. Dalam kerangka birokrasi legal-rasional versi Max Weber, aparat publik seharusnya bertindak berdasarkan prosedur dan kepentingan umum. Namun dalam kenyataan, kekuasaan administratif kerap dikomodifikasi dan dijadikan ladang transaksional.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa korupsi terbanyak di Indonesia terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa serta perizinan. Ini adalah sektor-sektor yang justru bersentuhan langsung dengan pelayanan publik. Maka tidak berlebihan jika praktik “86” tidak hanya merusak integritas birokrasi, tetapi juga menjadi penghalang serius bagi pembangunan yang berkeadilan.

Fenomena ini tidak dapat dibiarkan menjadi budaya. Ketika publik terbiasa menyuap dan birokrasi terbiasa menerima, maka ketimpangan menjadi sistemik. Pelayanan publik yang seharusnya menjadi hak, berubah menjadi “jasa tambahan” yang harus dibeli.

Menghadapi kompleksitas praktik “86”, pendekatan hukum saja tidak cukup. Diperlukan mekanisme pencegahan berbasis sistem. Di sinilah keterbukaan informasi publik memainkan peran krusial. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) hadir sebagai fondasi yuridis untuk mendorong transparansi di tubuh birokrasi.

UU KIP menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh informasi publik dari badan publik. Informasi tersebut meliputi kebijakan, anggaran, perizinan, dan prosedur pelayanan. Semakin terbuka informasi, semakin kecil ruang gelap untuk praktik kompromi ilegal.

Komitmen ini diperkuat melalui pembentukan Komisi Informasi di tingkat pusat dan daerah. Komisi Informasi berwenang menyelesaikan sengketa informasi serta mendorong kepatuhan badan publik terhadap prinsip transparansi. Dalam banyak kasus, intervensi Komisi Informasi berhasil membuka dokumen anggaran, kontrak proyek, dan data layanan publik yang sebelumnya tertutup.

Namun, implementasi keterbukaan informasi belum berjalan optimal. Banyak badan publik yang masih menyimpan informasi secara eksklusif, atau menyajikannya dalam format yang tidak ramah publik. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sering kali belum memiliki kapasitas memadai, baik dalam aspek teknis maupun etika pelayanan informasi.

Pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mendorong transparansi, seperti sistem pengaduan daring (LAPOR), e-procurement, dan digitalisasi layanan publik. Namun, tanpa budaya integritas dan partisipasi publik yang kuat, teknologi pun tak akan banyak membantu.

Maka, reformasi birokrasi harus ditopang oleh empat pilar: digitalisasi pelayanan, penguatan kapasitas PPID, pendidikan integritas bagi ASN, dan partisipasi aktif masyarakat. Keterbukaan bukan sekadar soal membuka data, tetapi menyangkut hak dasar warga negara untuk tahu, mengawasi, dan memastikan bahwa birokrasi bekerja untuk publik, bukan untuk diri sendiri.

Selain itu, Komisi Informasi perlu diperkuat secara kelembagaan, baik dari sisi kewenangan, anggaran, maupun keterlibatan dalam perumusan kebijakan nasional mengenai data dan informasi publik. Sinergi antara Komisi Informasi, Ombudsman RI, dan KPK harus diperkuat agar ekosistem pengawasan publik lebih solid.

Mengubah budaya birokrasi tidak bisa instan. Ia membutuhkan keteladanan dari pimpinan, keberanian dari publik, dan konsistensi dari sistem. Dalam konteks ini, keterbukaan informasi menjadi titik temu antara negara dan rakyat. Keterbukaan adalah cara untuk mengurangi kesenjangan informasi, memotong jalur korupsi, serta mendorong efisiensi birokrasi.

Budaya “86” akan tetap hidup dalam ketertutupan. Jika setiap prosedur layanan dapat diakses publik, jika informasi biaya dan waktu layanan diumumkan secara daring dan tertempel di dinding kantor pelayanan, maka ruang untuk kompromi akan menipis. Publik akan tahu mana layanan resmi, mana yang manipulatif.

Kita harus menyadari bahwa budaya “86” bukan hanya urusan birokrasi. Ia adalah cerminan dari struktur sosial dan nilai publik yang permisif terhadap kompromi. Maka, membangun keterbukaan informasi bukan sekadar menjalankan undang-undang, melainkan membangun kesadaran kolektif bahwa pemerintahan yang baik dimulai dari keberanian untuk membuka diri.

Saatnya kita berhenti menoleransi praktik-praktik semacam “86” ini sebagai bagian dari budaya. Negara sudah menyediakan perangkat hukum dan kelembagaan untuk mendorong transparansi, tinggal bagaimana kita menggunakannya. Keterbukaan informasi bukan sekadar jargon reformasi, melainkan jalan terang untuk keluar dari birokrasi yang gelap.

Membasmi budaya “86” bukan tugas satu orang atau satu institusi. Ia adalah tanggung jawab bersama antara negara dan warganya. Dan langkah pertamanya sederhana: buka informasi, buka akses, dan buka kesadaran.