Catatan Kebudayaan : Menjadi Gubernur Kebudayaan di Sumatera Barat
Oleh : Sastri Bakry (Penggiat Kebudayaan)
Beberapa hari lalu tiba-tiba saya dikontak Nurdayanti, Kabid Kesenian Dinas Kebudayaan, Provinsi Sumatera Barat. Ia memberikan undangan untuk menghadiri rapat pembentukan Dewan Kesenian Sumbar (DKSB) hari Kamis 9 Januari 2024 di gedung Kebudayaan.
Saya gembira dan menyambut baik gagasan ini. Saya pikir ini adalah matahari yang menyinari dan memberi angin segar untuk memfasilitasi seniman berkarya, membantu proses kreatif seniman ke arah lebih bermutu, menjaga dan merawat tradisi budaya dan mengapresiasi karya-karya mereka.
Banyak seniman hebat tapi tak punya akses. Banyak grup seni hebat tapi tak punya legalitas sehingga tak pernah bisa mendapat bantuan pemerintah. Itulah harapan saya terhadap DKSB agar seniman terus termotivasi berkarya.
Seingat saya, saya pernah diundang juga untuk pembentukan Dewan Kebudayaan Sumbar (DKB). Waktu itu saya sempat bertanya bagaimana dengan DKSB, posisi secara hukum dan kelembagaan. Saya mendengarkan segala macam saran, komentar dan pendapat kritis pada waktu itu.
Akhirnya saya setuju saja dengan pembentukan Dewan Kebudayaan dan mendorong agar segera mengeluarkan legalitas formal untuk memudahkan kerja. Jangan hanya sekedar wacana tapi harus punya keberanian mengeksekusi.
Dewan kebudayaan tentunya bukan hal yang sederhana dibandingkan dengan DKSB karena lintas OPD. Sayangnya gagasan DKB itu terputus begitu saja. Beberapa pertemuan dilaksanakan namun saya tak pernah diundang lagi.
Barangkali karena saya terlalu keras berpendapat atau bisa jadi tidak begitu penting makanya tak lagi diundang.
Tapi itu tak begitu penting pula bagi saya. Saya terus berkarya di jalan budaya dengan cara saya sendiri. Saya menekankan pada leadership dan manajerial yang tidak asyik dengan karya sendiri saja tetapi juga memberi ruang bagi seniman lain yang mau berkarya bahkan hingga keluar negeri.
Kesakitan Para Seniman
Kepala Dinas Kebudayaan
Provinsi yang baru, Jefrinal Arifin, adalah teman saya. Panjang sejarahnya jika akan saya urai. Karenanya saya berharap Jefrinal akan membawa angin segar. Dia orang yang pintar tentu akan membuka diri dengan dialektika tajam khas para seniman.
Saya, boleh dikatakan sangat dekat dengan kadis ini. Kedekatan sebagai sahabat yang mulutnya bisa saling langsung-langsung saja. Banyak orang yang tahu soal itu, sehingga ada pula yang curiga saya mendapatkan bantuan kegiatan/dana dari Dinas Kebudayaan.
Beberapa kali saya mendatangi kantornya dan beberapa kali kolaborasi (memfasilitasi tempat di gedung kebudayaan). Meski sering kali acara di situ membuat kecewa, terakhir ketika konsul Jenderal Tiongkok dan delegasi China dan Malaysia hadir dalam Seminar Menelusuri Jejak Penulis Yu Dafu. Gedung Kebudayaan kotornya minta ampun, kursi yang bablas, AC yang tidak dingin, toilet yang tidak layak padahal panitia sudah wanti-wanti sekali. Sehingga Andreas Sofiandi, Toako HTT yang ikut mencek tempat hingga ke toilet marah sekali pada saya.
Saya agak bingung juga, di awal tugas Jefrinal mengkritik habis Dinas Kebudayaan yang kotor, tapi di eranya justru lebih kotor.
Saya menyimpan itu semua karena alasan subjektif. Dia teman saya jadi aibnya mesti saya simpan. Apalagi serangan padanya bertubi-tubi. Dari dalam unit kerjanya mau pun dari luar termasuk seniman yang merupakan mitra kerja yang mesti dirawatnya. Suara-suara seniman itu patut didengarkan, tak boleh saya mengabaikan atau seolah-olah baik- baik saja. Tidak fair lah. Karena itu saya ingin berhadapan langsung dengannya untuk menyampaikan isu yang berkembang dan pemetaan risiko jika tak tertangani dengan baik isu-isu kebudayaan. Jika bersama dibicarakan pasti ada solusi dari kegelisahan seniman.
Awalnya penyampaian saya dengan ketawa- ketawa bahkan saya juga tak membenarkan seniman yang hanya mengritik tanpa solusi.
Ada hal- hal yang perlu saya bicarakan soal kegiatan kebudayaan terutama fasilitas sarana prasana untuk berkarya. Apalagi ketika seorang Musisi, Ioqo Alhamra, mengeluh tak bisa dipinjamkan tempat untuk latihan di gedung kebudayaan. Ia bahkan di tolak secara halus, dengan menyarankan untuk mengajukan surat permohonan peminjaman ke gubernur. Padahal yang dipinjamnya hanyalah sesudut kecil ruang untuk latihan musik anak- anak.
Ioqo Alhamra ini kenal baik dengan gubernur tapi minta pendapat saya yang sudah dianggapnya seperti orang tua, toh bisa saja dia langsung “mangadu” ke buya. Memang aneh untuk keputusan pinjam tempat kecil saja harus persetujuan gubernur.
Saya awalnya kurang percaya soal Kadis tak mau memfasilitasi gedung kebudayaan untuk peristiwa kebudayaan. Namun banyak keluhan lainnya dari seniman maupun staf di Dinas Kebudayaan. Misalnya soal arogansi kekuasaan, soal feodal, soal tidak adil, soal percaya dengan pengaduan, soal tidak objektif, soal baper, soal tidak peduli peristiwa kebudayaan. Wah menurut saya itu parah. Bukankah kebudayaan itu segala hal berkaitan dengan hasil cipta karsa dan karya serta adab perilaku manusianya? Membangun peradaban dimulai dari jiwa, perilaku dan tingkah laku. Jika hal mendasar saja belum duduk bagaimana kita akan bicara soal ide, soal kreatifitas, soal inovasi apalagi kolaborasi strategik, program dan kegiatan?
Maka dengan semangat heroisme tinggi dan kesetiakawanan seniman saya coba bicara. Mencoba mengajaknya duduk makan di kedai Papi Monon. Konon duduk berbincang dengan seniman di Uwo Kardi atau Papi Monon tak pernah dilakukannya untuk merasakan denyut jantung seniman. Seolah ada jarak Kepala Dinas dengan seniman budayawan.
Akhirnya saya beberapa kali minta waktu ketemu lagi untuk pembicaraan serius. Pertama tak bisa jumpa karena beliau sakit. Kedua dia lagi acara, ketiga dia lagi istirahat. Nah soal istirahat inilah kemudian menjadi isu yang berkembang. Bahwa Kadis tak bisa diganggu karena sedang sakit. Jadi perlu istirahat. Sehingga menjadi rumor, Kadis sering tidur di kantor karena sakit.
Sayang sekali gaung tak bersambut ya. Saya pernah dikomplain karena berpihak pada seniman yang terlalu keras dan mempermalukan Dinas Kebudayaan. Padahal saya sendiri sering berdebat dengan seniman. Itu hal biasa. Namun agaknya no viral no justice lah yang membuat seniman buka-bukaan menggunakan bahasa vulgar karena airnya tersumbat sehingga damnya pecah meleleh hingga kemana-mana.
Apakah seniman difasilitasi berarti tidak ada ruang berdialektika?
Saya tetap penasaran dengan cerita seniman. Ada yang tajam mengkritik Dinas Kebudayaan tidak melaksanakan tugas, ada yang melengoh, ada yang merepet terus karena tak jelas peran Dinas Kebudayaan di setiap kegiatan bahkan di acara sebesar AA Navis yang diakui UNESCO saja, bisa saja tak datang. Kebanyakan lebih suka diam saja meski tak dipedulikan.
Saya tetap melaporkan setiap kegiatan kesenian dan kebudayaan saya. Meski dijawab dengan emoticon jempol, mantap tapi lama- lama saya merasa ini memang tak ada perhatian terhadap seni budaya, dan saya ungkapkan pada yang mengurus budaya. Reaksinya justru negatif. Saya jadi percaya dengan yang dikeluhkan teman-teman. Akhirnya saya paham kayu yang hitam itu semakin hitam, tak mungkin kita minta berubah warna.
Gubernur Kebudayaan Sumbar
Menjadi Kepala Dinas urusan maka kita menjadi gubernur untuk urusan itu. Menguasai dan mandiri bertindak. Jangan sampai untuk meminjam ruang- ruang di gedung Kebudayaan atau fasilitas pemerintah lainnya di gedung Kebudayaan, hal- hal lainnya harus persetujuan gubernur. Bukankah gubernur sudah memberikan mandat untuk mengurusnya. Apa sebetulnya urusan Dinas Kebudayaan? Kenapa rumit sekali setiap ada kegiatan kebudayaan ya.
“Ya memang rumit,” ujar seorang seniman senior.
“Terutama jika tak mengerti,” imbuh seniman yunior sambil tersenyum penuh arti.
Ada tujuh fungsi kebudayaan yakni mencakup bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian. Dan ini jika diurai bisa banyak sekali.
Mari kita lihat tugas dan fungsinya. Kira-kira beginilah saya kutip:.
Melestarikan bahasa, sastra, aksara daerah, nilai budaya, dan kesenian
Merumuskan kebijakan, melaksanakan kebijakan bidang kebudayaan dan memfasilitasi seniman budayawan melakukan evaluasi dan pelaporan bidang kebudayaan. Melaksanakan tugas lain yang bersifat kedinasan yang diberikan Gubernur. Wah.
Memang perlu dicari Kepala Dinas yang berlaku sebagai Gubernur untuk kebudayaan.
Mental baja, mandiri bertindak, siap berdialektika, terbuka dikritisi dan mau belajar, berinovasi, beradaptasi, memfasilitasi dan mengapresiasi karya kebudayaan untuk membantu gubernur pertama. Dan yang paling penting tidak merasa jabatan itu adalah genggamannya. Jika seseorang merasa jabatannya itu adalah segala- galanya, yang digunakan untuk kekuasaan bukan menggunakan kewenangannya sesuai tupoksinya, alamat akan hancur sistem pemerintah yang sudah dibangun dengan bagus.
Saya merenung dan menunggu gubernur utama yang baru memilih gubernur kebudayaan yang akan membantu tugasnya yang banyak sekali. Jangan hanya asyik dengan formalitas saja, rapi administrasi ( SPJ) tapi lemah dari segi esensi yang bermutu. Insya Allah akan dibantu DKSB. Itupun jika memilih orang yang tepat untuk mengurus seniman.
Saya ingin mengutip syair penari yang juga sastrawan Andra, yang kadang sering berlawanan dengan saya, karena kata-katanya yang tajam dan membunuh tapi yang merasa terbunuh adalah yang tak punya senjata untuk menangkisnya. Ini syair yang saya ulang-ulang baca membuat saya merinding.
“.. . .. . .. . . Paham kah para tuan dan bangsawan, menhir tak lagi sebatas nisan, menjadi andesit batunya para konglomerat, yang bersembunyi dalam liang-liang empat ribu sebelum masehi!!!
Meninggalkan Maek, dengan tatapan usang, melihat tuan dan bangsawan meludahkan sirih ke langit, membuat wajah menjadi merah seperti sangkala di pinggir surya!”
Berulangkali saya membacanya. Terasa menghentak dan mengerikan.
Kepada siapa malu akan disembunyikan? Padang, Januari 2025
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.