PADANG – Speech delay merupakan kegagalan dalam melakukan bicara (proses mekanik memproduksi suara) pada anak dengan menggunakan Bahasa (symbol dan system dalam komunikasi) yang bersifat respektif dan ekspresif sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Kondisi ini haruslah diperhatikan dan diwaspadai orang tua karena dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak yang bisa jadi disebabkan oleh berbagai hal.
Dokter Spesialis Anak Semen Padang Hospital (SPH) dr. Dhina Lydia Lestari, Sp. A, M. Biomed mengungkapkan, meski kemampuan berbicara atau berbahasa anak berbeda, namun kondisi terlambatnya bicara jika dibiarkan dan tidak ditangani dengan rujukan ahli bisa menjadi satu gangguan serius pada anak.
Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh National Centre for biotechnology Information, prevalensi gangguan speech delay pada anak berkisar 1 hingga 32 persen pada populasi normal.
“Speech delay bukan hal yang dapat dianggap remeh. Sebab jika tidak segera ditangani, hal ini dapat mengakibatkan masalah ketika anak menginjak usia dewasa nantinya,” ujar dokter Dhina.
Ia menjelaskan, organ yang terlibat pada mekanisme bicara adalah telinga, otak, mulut dan dada. Anak yang akan mengalami resiko keterlambatan bicara adalah:
a. Riwayat Kelahiran: asfiksia, premature, icterus, kelainan fisik
b. Riwayat Keluarga: kelahiran rapat dan tinggi, pernikahan dalam keluarga, multilingual, perpisahan dengan anggota keluarga, pengetahuan keluarga
c. Kehilangan fungsi pendengaran, Otitis media menetap, kejang
d. Faktor Lingkungan: trauma, kebisingan, TV>2jam, sosial ekonomi, stimulasi tidak kuat dan kurangnya nutrisi.
Sementara itu, dokter Dhina juga mengungkapkan, speech delay atau keterlambatan bicara merupakan salah satu penyebab keterlambatan yang sering dijumpai. Penyebabnya sangat luas dan kompleks, sehingga perlu diketahui tanda-tandanya agar mudah mendeteksi terjadinya keterlambatan bicara pada.
Berikut ini, dijelaskannya berbagai peekembangan bahasa dan bicara pada anak:
Perkembangan bahasa dan bicara:
Usia 0-6 bulan: Reseptif:
-Reaksi pada suara : tenang/waspada.
– Mengarah ke sumber bunyi → mainan bersuara
– Mengenal emosi dari nada bicara.
Ekspresif: Cooing: aah-uuhhh
Babbling: mamama/dadada
Usia: 6-12 bulan, Reseptif: Mengerti nama orang terdekat, Mengenal panggilan, Ekspresif:
– Babbling dengan intonasi sesuai bahasa ibu
-Mamama; papapa Menggunakan isyarat : menunjuk, merentangkan tangan jika mau digendong
Usia 18-24 bulan
Reseptif:
– Body image Mengikuti perintah 2 langkah
– Mendengarkan cerita
– 50%sudah bisa dimengerti
Ekspresif: kalimat 2 kata
Usia: 2 – 3 tahun
Reseptif: Nama benda
Ekspresif: kalimat 2-3 kata; bernyanyi
3 – 5 tahun
Reseptif: tertarik mendengarkan cerita
Ekspresif: Menyebut nama, bedakan jenis kelamin, kalimat lebih panjang
Sementara itu, berikut juga disampaikan kapan orang tua harus merasa waspada jika anaknya mengalami speech delay:
Redflags Perkembangan Bicara dan Bahasa tahap 1. ‘Red Flag’ merupakan tanda waspada bahwa anak harus segera mendapatkan pertolongan atau tindakan
– 2 bulan, Ekspresif: tidak keluar cooing, reseptif: tidak ada reaksi terhadap suara
– 6 bulan, Ekspresif: tidak ada cooing, reseptif: tidak menoleh ke sumber bunyi
– 10 bulan, Ekspresif: tidak ada bubling, reseptif: tidak respon terhadap panggilan
– 12 bulan, Ekspresif: tidak meminta/menunjuk, reseptif: tidak mengikuti hal rutin
– 15 bulan, Ekspresif: tidak menyebut 3 kata spontan, reseptif: tidak mengerti 3 kata
Kemudian ini juga merupakan kondisi yang harus diwaspadai dengan usia dan kondisi berikut ini:
– 18 bulan, Ekspresif: kosa kata tidak bertambah, reseptif: belum mengenal bagian tubuh
– 24 bulan, Ekspresif: Belum bisa kalimat 2 kata, reseptif: Belum mengikuti perintah
– 36 bulan, Ekspresif: belum kalimat sederhana, reseptif: belum bisa menjawab pertanyaan sederhana
– 42 bulan, Ekspresif: belum bercerita sederhana, reseptif: belum mengenal bagian tubuh
– 60 bulan (5 tahun), ekspresif: bicara tidak dimengerti.
“Dari tanda-tanda tersebut diatas, ibu harus mewaspadai sejak dini agar tidak terjadi keterlambatan bicara pada si Kecil secara berkelanjutan,” ujarnya.
Sementara itu, untuk memastikan anak terkena speech delay atau tidak, maka perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter pada anak. Pada awalnya dilakukan skrining pendengaran guna memastikan ada atau tidak adanya kelainan organ bicara atau anggota tubuh lain.
Kemudian dilakukan juga test pendengaran dengan Oto Acustic Emission (OAE) dan atau Brain Evoked Respons auditory (BERA). Atau dapat juga dengan menggunakan instrument tes daya denganr (TTD) sesuai usia(Kemenkes 2014)
“Jika memang ada indikasi tersebut, maka hal tersebut bisa disembuhkan bila segera dilakukan pemeriksaan dan bantuan terapi untuk speech delay,” terangnya.
Selain menerima untuk pengobatan dan perawatan bagi pasien yang sakit, SPH juga memiliki ahli tumbuh kembang anak, kemudian didamping oleh ahli Rehabilitisasi medis serta terapis fisioterapi untuk speech delay. Terapi ini dapat dijangkau oleh semua kalangan dan dibiayai oleh semua asuransi sesuai kebutuhan termasuk BPJS.
“SPH juga memiliki fisioterapi dengan terapis berpengalaman yg dapat membantu serta melatih penderita speech delay,” katanya.
Dokter Dhina mengimbau agar orang tua harus selalu memperhatikan tumbuh kembang anak. Jangan abai dengan hal tersebut karena speech delay nantinya dapat mengganggu masa depannya.
“Cegah sebelum terlambat, terlibat dalam pembelajaran pada anak-anak kesayangan Anda. Batasi screen time yaitu kurang dari 2 jam. Bila perlu, lakukan skrining pada balita anda, dan konsultasikan anak anda ke dokter Anak terpercaya,” tutur dokter Dhina.(*)