Forum Dekan Fak.Hukum dan Ketua STIH Muhammadiyah se Indonesia Tolak Gagasan Hidupkan Kembali GBHN/PPHN
Bukittinggi, Intrust – Gagasan MPR-RI untuk menghidupkan kembali GBHN atau nama baru PPHN dan Amandemen Terbatas UUD 1945, pada sidang tahunan Agustus tahun lalu, sejak lama sudah menjadi perhatian bahkan jadi sorotan berbagai pihak.
Salah satu lembaga yang sejak awal mengetahui dan akhirnya melakukan kajian melalui Seminar Nasional dan Call Paper, kemudian melahirkan pandangan serta sikap adalah Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiah Indonesia.
Seminar yang dilaksanakan Kamis (20/1) di Universitas Muhammadiyah Sumbar di Bukittinggi itu mencatatkan 42 PT Muhammadiyah dan Aisyiyah di Indonesia, bahkan menampilkan lima orang tokoh nasional dan ahli hukum tata negara.
Selain mantan Menkumham Deni Indrayana, juga tampil mantan Wakil Ketua KPK Bambang Wijayanto, Iwan Satriawan, Hendra Yunaldi dan sebagai pembicara utama mantan ketua KPK Busyro Muqoddas.
Gagasan menghidupkan kembali GBHN atau dengan nama baru Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan Amandemen Terbatas UUD 1945, dipandang peserta Seminar dengan melihat pada amandemen yang dilakukan tahun 1999-2002 dan telah mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia, antara lain mengubah kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara jadi lembaga sederajat dengan lembaga lainnya. Perubahan itu membawa konsekuensi pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi monopoli MPR tapi terdistribusi ke berbagai lembaga lain.
Peserta juga menyimpulkan, amandemen yang pernah dilakukan telah menghapus kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN. Karena haluan negara tidak lagi diperlukan sebab kedudukan Presiden bukan lagi mandataris MPR yang berkewajiban memberikan pertanggungjawaban.
Selain itu, salah satu kesepakatan dasar pada Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002, adalah penguatan terhadap sistim Pemerintahan Presidensial, sehingga Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu dan masa jabatan fix term selama 5 tahun dan dipilih kembali hanya 1 kali periode .
Dalam pembangunan, Amandemen UUD 1945, telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan nasional. Fungsi GBHN telah diganti oleh UU No.25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 7 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional tahun 2005-2025.
Atas pertimbangan di atas, peserta seminar menyatakan bahwa gagasan menghidupkan kembali GBHN atau apapun namanya dalam konstitusi tidak relevan dengan struktur ketatanegaraan Indonesia, sistim pemerintahan Presidensial dan mekanisme pertanggungjawaban pemerintahan saat ini yang merupakan hasil dari reformasi.
Berikutnya ditegaskan, PPHN tidak diperlukan lagi karena fungsinya telah digantikan oleh Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional Jangka Panjang. Kalau pun terdapat kekurangan, maka yang dievaluasi dan revisi adalah pada level UU bukan UUD.
Pada saat ini pun tidak persoalan atau pun momentum penting atau luar biasa yang menjadi motivasi kuat dan krusial untuk dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Amandemen Terbatasu. Pun, kalau diperbolehkan konstitusi, namun saat di tengah pandemi masih berlangsung disertai keterpurukan ekonomi, juga tidak tepat dilakukan.
Peserta mengkhawatirkan, amandemen terbatas dapat menjadi pintu masuk dan bola liar bagi kepentingan politik pragmatis elitis untuk mengubah berbagai pasal dalam UUD 1945 yang tidak hanya terbatas pada masalah PPHN juga issu lain seperti perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode.
Oleh karena itulah Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua STIH PTMA se-Indonesia menyatakan menolak gagasan menghidupkan kembali GBHN (PPHN) dalam UUD 1945 dan amandemen terbatas (ke-5) UUD 1945, sebagaimana dibacakan oleh Ketua Forum Dr. Tongat, SH, MH dan Sekretaris Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH. Pon
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.