Hasil Lahan Sawit Sitaan Satgas PKH Masih Diambil PT SJAL, BEM se Sumbar Minta DPRD Sumbar Usut Tuntas

Padang, majalahintrust.com – Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) tampaknya dibuat kecele. Pasalnya lahan PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL) yang mereka sita di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat sejak April lalu, tidak digubris perusahaan sawit. Malah hasil panen masih mereka ambil dari ladang sawit yang sita.

Hal tersebut disampaikan Hidayat Presiden BEM UIN Imam Bonjol kepada majalahintrust.com via whats app Senin (11/8/2025).

“Benar,  lahan sawit yang disita Satgas PKH masih dimanfaatkan perusahaan sawit. Temuan kami ini sudah kami sampaikan ke DPRD Sumbar beberapa waktu lalu,” ucap Hidayat

BEM se Sumbar pun saat menyampaikan aspirasi kata Hidayat telah menyampaikan masalah ini terkhusus kepada Kasus PT SJAL yang notabene Incasi Raya Group.

Dalam surat yang dikirimkan ke DPRD Sumbar disebutkan Hidayat, berisi Kasus PT Incasi Raya wilayah Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Isu-isu yang melingkupinya mencakup dugaan pelanggaran hukum signifikan terkait alih fungsi kawasan hutan secara ilegal, pencemaran lingkungan, dan konflik agraria yang merugikan masyarakat adat serta ekosistem.

Pihaknya memaparkan, pelanggaran utama yang diduga dilakukan oleh PT Incasi Raya berakar pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 50 ayat (3) yang melarang aktivitas tidak sah di kawasan hutan. Konversi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tanpa izin pelepasan yang sah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan pelanggaran serius yang mengindikasikan adanya praktik illegal logging terselubung dan deforestasi.

Kasus ini juga  bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang memperkuat landasan hukum untuk menindak tegas pelaku perusakan ekosistem vital. Di samping itu, dugaan pencemaran lingkungan akibat operasional perusahaan, termasuk pengelolaan limbah yang tidak standar, merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengamanatkan kewajiban memiliki izin dan persetujuan lingkungan serta penerapan Amdal yang konsisten.

Isu penanaman sawit di sempadan sungai juga mengindikasikan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang bertujuan melindungi fungsi hidrologi dan ekologis sungai.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT Incasi Raya telah menimbulkan kerugian multidimensional bagi Pesisir Selatan. Pertama, kerusakan ekologis berupa deforestasi dan degradasi fungsi hutan di kawasan pesisir, yang seharusnya berfungsi sebagai penopang ekosistem dan penyangga bencana alam. Hutan yang dialihfungsikan secara ilegal menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Kedua, pencemaran sumber daya air akibat limbah perkebunan mengancam kesehatan masyarakat dan mata pencarian nelayan serta petani yang bergantung pada sungai. Kualitas air yang menurun berdampak langsung pada pasokan air bersih dan produktivitas perikanan. Ketiga, konflik agraria dan hilangnya hak-hak tradisional masyarakat adat dan lokal. Perluasan perkebunan sawit seringkali mengabaikan hak ulayat dan kepemilikan lahan masyarakat, memicu ketegangan sosial dan kemiskinan struktural.

Keempat, kerugian ekonomi negara dari sektor kehutanan dan lingkungan akibat tidak terpenuhinya kewajiban perizinan, retribusi, dan potensi denda yang tidak tertagih. Selain itu, kerusakan lingkungan jangka panjang akan memerlukan biaya rehabilitasi yang besar, membebani anggaran daerah.

BEM se Sumbar pun ditegaskan Hidayat menuntut agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat segera mengambil tindakan tegas terkait dugaan pelanggaran terhadap pencemaran lingkungan hidup dan penyerobotan lahan negara yang dilakukan oleh PT Incasi Raya Group.

 

Ditempat terpisah, Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPRD Provinsi Sumatera Barat Verry Mulyadi menjelaskan, fraksi partainya ngotot dengan masalah hutan ini, karena sudah lama penguasaan hutan dilakukan pihak swasta yang menyebabkan Negara menjadi merugi.

 

Selain itu juga akibat dari alihfungsi lahan yang dilakukan perusahaan swasta ini, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang begitu parah. Seharusnya daerah tersebut tidak banjir, namun karena penebangan hutan secara liar dan diganti dengan lahan sawit, saat ini menjadi banjir.

 

“Akibat banjir sering terjadi di wilayah tersebut akibat kerusakan hutan, tentu masyarakat juga yang dirugikan. Maka dari itu, Fraksi Gerindra memperjuangkan ini juga untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.

 

Verry pun menyokong perjuangan Mahasiswa BEM se Sumbar, agar penertiban alih fungsi lahan ini betul-betul terealisasi dengan baik. Sehingga sawit yang sudah disita oleh Satgas PKH bekerjasama dengan Kejati Sumbar bisa dimanfaatkan oleh Negara. (*)

 

Lahan SItaan Satgas PKH Bekerjasama dengan Kejaksaan RI

 

Kabupaten Solok Selatan

PT IMF luas lahan disita 4593 Ha

PT BRM luas lahan disita 3540 Ha

 

Kabupaten Mentawai

Pembukaan Lahan di Taman Wisata Alam Saibi Sarabua 635 Ha

 

Kabupaten Pasaman

Hutan Cagar Alam Panti luas lahan disita 117,10 Ha

Hutan Marga Satwa Malampah luas lahan disita 2802,68 Ha

 

Kabupaten Pasaman Barat

PT AMP Plantation Luas Lahan Disita 744,87 Ha

PT Primatama Mulia Jaya Luas Lahan Disita 330,80 Ha

 

Kabupaten Agam

PT AMP Plantation Luas Lahan Disita 878,14 Ha

 

Kabupaten Pesisir Selatan

PT Sumatera Jaya Agro Lestari Seluas 382,40 Ha

PT Sumatera Jaya Agro Lestari Seluas 846,40 Ha

 

Kabupaten Dharmasraya

PT Selago Makmur Plantation Seluas 715,03 Ha