Sahabat,
Sekian puluh tahun yang lalu, dalam usia 19 tahun, saya melintasi gerbang Taman Budaya. Mata saya jelalatan. Di sekitar terlihat kelompok-kelompok orang yang sibuk melakukan kegiatan yang beragam. Ada Pak Darwis Loyang sedang melatih anak-anak menari. Ada Pak Wisran Hadi sedang mengarahkan pemain Anggun Nan Tongga. Ada Uda Des Monon, dan kawan-kawan sedang memainkan musik mengiringi tari grup Indojati.
Ada seseorang berambut gondrong, memakai jas hitam kedodoran, asyik menekan-nekan tuts piano. Orang ini kemudian saya kenal dengan nama Da In Kagami. Ada Uda Rizal Tanjung sedang melatih anak-anak Elen English School main teater. Saya mendekat ke tempat latihan teater itu karena saya salah satu dari anak-anak Elen yang ikut berlatih. Saya bukan pemeran utama, kedua, ketiga, atau keempat, melainkan figuran belaka. Tidak seperti Boyke Sulaiman, Syarifuddin Arifin, atau Zamzami.
Saya masih teringat, agak ke belakang, ada tempat penari suami istri, Hardian Rajab dan Deslendra. Soal tari-menari ini banyak juga sanggar-sanggar yang aktif di Taman Budaya. Salah satu di antaranya adalah sanggar seorang pemuda yang suka memanggil dirinya “Ambo”, tapi lebih sering “Aden”. Ya, Eri Mefri. Sekarang tentu dia bukan pemuda lagi, petua malah.
Taman Budaya “heboh” oleh bunyi-bunyian, termasuk suara Dadang Leona sedang membaca puisi, bertanding keras dengan Asbon Budi Nan Haza dan Andria C. Tamsin. Di belakang, ada seorang yang dipanggil Om sedang memberi petuah atau sekadar bercerita tentang PRRI. Belakangan saya sering duduk di lepau Om itu dan mengenalnya sebagai Om Fahmi atau lengkapnya Bagindo Fahmi. Pokoknya kalau soal perang, tanyalah Om Fahmi; soal budaya Minangkabau, tanya Mak Katik.
Seingat saya, gedung-gedungnya (entah layak disebut gedung, entah tidak) dibuat dari sedikit semen. Selebihnya papan yang sebahagian sudah agak lapuk. Ada juga gedung yang bagus berlantai dua. Di lantai dua itu saya diajari oleh Mak Etek B. Andoeska main talempong, lengkap dengan marah-marahnya kalau saya memukul talempong yang salah.
Di sebelah kiri, terdapat galeri, tempat Is Tojes dan kawan-kawan memajang karyanya. Galeri itu dilengkapi dengan lampu-lampu, yang bagi saya asing, yang menyinari lukisan, mungkin agar lukisan itu lebih jelas.
Berpuluh tahun kemudian, sekarang, malam-malam di Taman Budaya sering memperdengarkan bunyi jengkerik, sepi. Siang juga sepi, paling-paling beberapa orang maota di lepau Da Kardi. Sesekali orang-orang itu main band. Hanya itu. Selebihnya sepi.
Taman Budaya menjadi tempat yang aneh. Di Taman Budaya ini tidak ada lagi taman, tidak ada pula budaya. Begitu melintasi gerbang, terlihat tiang-tiang agak besar dan banyak. Di belakang tiang-tiang itu ada bengkalai gedung yang cocok sebagai lokasi syuting film horor. Eh, jangan-jangan sudah ada hantunya di situ.
Dari Jakarta, pernah tersiar kabar bahwa Taman Ismail Marzuki (TIM) juga akan dipermak. Bahasa hebatnya revitalisasi. Tapi sangat berbeda daripada Taman Budaya Sumbar. TIM benar-benar direvitalisasi. Gedung-gedungnya bukan berkurang, melainkan bertambah. Gedung-gedung baru itu misalnya Gedung Panjang, Gedung Perpustakaan, Wisma Seni, Pusat Arsip H.B Jassin, dan kantor pengelola TIM. TIM semakin keren, semakin lengkap. Para seniman tetap akan berkarya di situ, termasuk Bram Ilyas, yang kini sudah hijrah ke Jakarta.
Begitu pula, Taman Budaya Lampung. Tetap taman tempat budaya Lampung dilestarikan dan kreativitas seniman difasilitasi. Pokoknya kalau ingin mengenal budaya Lampung, datanglah ke Jalan Cut Nyak Dien No.24 Tj. Karang, pusat kota Bandar Lampung, tempat Taman Budaya Lampung berada.
Hampir semua Taman Budaya adalah tempat para budayawan dan seniman, mungkin berdiskusi, berkarya, “mentas” dan seterusnya. Hampir? Ya, karena Taman Budaya Sumbar rencananya akan dijadikan hotel berbintang-gemintang. Lalu bagaimana dengan budaya? Entahlah. Seniman? Entahlah.
Sahabat,
Budaya memang kadang-kadang tidak menguntungkan secara finansial. Budaya adalah warisan dan diwariskan. Budaya adalah nilai-nilai peradaban manusia. Budaya adalah pedoman hubungan antarmanusia atau antarkelompok, wadah penyalur perasaan dan kehidupan, pembimbing kehidupan manusia, dan pembeda antara manusia dan binatang.
Seni juga tidak selalu diniatkan sebagai sarana penambah panjang deretan angka di dalam rekening. Tidak selalu. Seniman bukanlah mata pencaharian, dan juga bukan lapangan pekerjaan. Seni adalah sebuah karya manusia yang merupakan ekspresi atau ungkapan dalam diri. Seni adalah kegiatan manusia untuk menciptakan karya yang mengungkapkan imajinasi, gagasan, atau teknik dalam pembuatannya dengan tujuan untuk dihargai keindahannya maupun kekuatan emosinya.
Budaya dan seni sangat erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Lebih mengarah pada batiniah, alih-alih lahiriah. Semua inilah yang mestinya disampaikan dan disadari oleh para perencana pengalihfungsian Taman Budaya menjadi hotel berbintang-gemintang.
Tapi, sahabat,
Hotel dapat menghasilkan uang, kalau laku maksudnya. Hotel lebih berorientasi bisnis, lebih moderen, lebih apa lagi ya? Mungkin juga kota Padang kekurangan hotel, sehingga perlu ditambah. Apalagi lokasi Taman Budaya ini dekat dengan pantai walaupun diantarai oleh Kantor Dinas Kebudayaan. Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka, pejabat pemerintah daerah.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Melawan? Tak bisa, sahabat. Mereka punya segalanya untuk mengalahkan kita. Kekuatan kita hanyalah keinginan tetap berkarya, di manapun tempatnya. Kita, orang-orang tak bertaji ini hanya memiliki semangat untuk menghargai kaeindahan. Semangat yang mungkin mereka abaikan.
Lalu? Tetaplah berkarya. Lawanlah dengan karya. (Dibacakan pada saat Panggung Ekspresi Seni dan Orasi Kebudayaan Seniman Sumatera Barat pada Kamis malam 13 Juli 2023)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.