Oleh : Dr Genius Umar M.Si
Walikota Pariaman
Sudah jadi hukum alam penonton sepak bola itu lebih pintar “ngoceh” dibandingkan pelatih ataupun pemain sepak bola. Walau tak memiliki kepandaian dan kemampuan khusus dalam mengolah si kulit bundar namun berbekal pandangan mata, penonton bisa “ngoceh” apa saja. Salahkah penonton? Jawabannya pasti tidak.
Dalam dunia sepak bola modern saat ini komentar dari penonton adalah hal yang lumrah dan si pemain sepak bola bersama timnya juga tak boleh “merah telinga” dengan kritikan itu. Selain berguna untuk evaluasi diri, bisa jadi satu atau dua dari apa yang disampaikan oleh penonton ada juga benarnya. Mungkin karena penonton memiliki sudut pandang ke seluruh sisi lapangan sedangkan pemain hanya terpaku dengan pandangan ke depan saja. Sehingga apa yang terjadi di samping kanan dan samping kiri tak dapat dilihatnya dengan komprehensif.
Dalam sebuah bisnis lembaga keuangan, konversi bukanlah perkara gampang dan jangan pula sekali kali kita menggampang gampangkan. Sebab, konversi itu pada hakikinya menutup satu usaha lama dan melahirkan usaha baru. Begitu juga halnya dengan Konversi Bank Nagari dari sistem Konvensional ke Sistem Syariah. Konversi disini berarti menutup / melikuidasi / membubarkan / menghapus Bank Nagari dengan sistem operasional konvensional yang hari ini berassetkan lk Rp27 Triliun dan membuka bank baru benama Bank Nagari Syariah dan harus memindahkan seluruh kekayaan yang ada pada bank lama itu kepada bank baru dibentuk.
Simpelkah memindahkan itu? Jawabannya pasti tidak. Memindahkan barang dari satu ruangan ke ruangan lain saja membutuhkan waktu dan proses. Apalagi memindahkan asset yang sudah mencapai lk Rp27 Triliun yang didapatkan dengan susah payah selama hampir 60 tahun. Sekelas BPD di NTB yang selalu dijadikan role model pihak yang menginginkan konversi saja membutuhkan persiapan selama 8 tahun. Butuh dua periodenisasi Gubernur untuk menjalankan itu sehingga bisa berjalan dengan baik tanpa polemik. Itu hanya untuk meyakinkan 8 Kabupaten dan Kota lengkap dengan DPRD nya. Bayangkan kita di Sumatera Barat dengan 19 Kabupaten/Kota yang ingin ujuk-ujuk dengan cepat mengkonversi Bank Nagari. Hanya dalam waktu dua tahun sudah merasa siap dan matang melakukan konversi.
Konversi taklah semudah mengganti “baju kaus” dengan “baju gamis”. Kalau pakaian mah tinggal sorong. Namun, kalau konversi ada tahapan yang harus dilalui. Dari 16 syarat yang diamanatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih banyak yang mesti disiapkan termasuk pondasi utamanya berupa perubahan akta perusahaan.
Perubahan akta ini taklah sesimpel yang dibayangkan pula. Diperlukan Peraturan Daerah terbaru untuk mendudukkan kembali akta perusahaan dalam bentuk peraturan daerah. Selain itu status perusahaan juga harus dipertegas kembali. Sesuai PP No 54 Tahun 2017, Bank Nagari adalah Perseroan Daerah (Perseroda). Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebagai pemegang saham pengendali harus memenuhi kewajibannya untuk memiliki 51 persen saham. Artinya, Pemprov wajib menyetor modal kembali sebanyak Rp1 Trilun agar bisa menjadi pemegang saham 51 persen sesuai amanat PP 54 Tahun 2017 tersebut. Sanggupkah Pemprov melakukan itu?
Itu baru salah satu syarat dan kebetulan itu syarat utama. Belum lagi syarat lainnya seperti risalah RUPS LB yang tak bulat dari keputusan RUPS LB tanggal 30 November 2019 yang lalu. Selain itu juga ada kewajiban untuk merinci kembali siapa saja pemegang sahamnya pasca dilaksanakan amanat PP 54/2017. Regulasi juga mengamanatkan untuk mendaftarkan kembali calon pengurus perusahaan, dewan pengawas syariah, ada lagi surat penyataan dari pemegang saham yang bersedia modalnya dialihkan ke sistem syariah. Khusus surat peryataan ini belum satupun Kepala Daerah di Sumbar yang menanda tangani itu.
Tak sampai di situ manajemen juga wajib membuat kajian bisnis tentang potensi dan risiko yang akan dihadapi jika konversi dilaksanakan. Kajian ini juga harus komprehensif dengan beragam alternatif pilihan. Konversi juga meminta harus ada roadmap bisnis sementara waktu terus bergulir. Sedangkan deadline untuk pengajuan Rencana Bisnis Bank saja sudah terlewati akibat kita sibuk berdebat dan berpolemik konversi. Kondisi diperparah lagi oleh wabah Covid–19 yang tak kunjung mereda. Intinya, ada banyak acuan dan ketentuan yang belum terpenuhi. Jika satu saja dari ketentuan tersebut tak terpenuhi maka konversi tak akan pernah bisa dilaksanakan.
Bulat tak Berlonjong
Konversi itu tak semudah membalik telapak tangan. Keputusan politik yang diambil untuk mengubah bentuk operasional dari konvensional ke syariah haruslah bulat tak berlonjong. Artinya, dari 21 pemegang saham Bank Nagari yang ada saat ini harus bulat tak sumbing untuk bersepakat dan berkomitmen penuh berkonversi. Jangan seperti RUPS LB 30 November 2019 yang lalu, kitapun harus jujur mengatakan itu adalah bulat masih berlonjong. Pilihan untuk mengikuti keinginan pemegang saham pengendali tak terlepas dari rasa segan dan menghargai pemegang saham pengendali. Kalau tak percaya bukalah rekaman RUPS LB itu kembali. Begitu juga hasil survei yang dilakukan Lembaga Pelatihan Perbankan Indonesia (LPPI) yang menyatakan 55 : 45. Artinya, keputusan yang ada saat itu tak lah bulat bundar seperti yang kita bayangkan.
Ibarat mata rantai, 21 pemegang saham Bank Nagari saat ini saling bertali temali antara satu dengan yang lainnya. Jika satu mata rantai itu putus jangan berharap rotasi bisa berjalan. Begitu juga dengan pemegang saham. Harus bulat 100 persen bersepakat untuk konversi. Jika satu saja dari 21 pemegang saham tadi tidak setuju maka Otoritas Jasa Keuangan juga tak akan melanjutkan prosesnya. Begitu juga dengan 16 syarat yang diamanatkan Otoritas Jasa Keuangan. Satu di antara 16 syarat tersebut tak terpenuhi maka konversipun tak akan bisa diproses. Fakta ini kembali mempertegas kepada kita semua bahwa konversi itu taklah semudah membalik telapak tangan.
Mengubah Bentuk Vs Mengubah Hati
Manakah yang lebih berat membangun gedung berlantai 100 dibanding mengubah hati 100 orang? Kalau orang rasional pasti akan berkata lebih berat mengubah hati 100 orang.
Fakta mengatakan seberat apapun membangun gedung bertingkat, teknologi dan material tersedia dengan cukup untuk melakukannya. Ada panduan instruksi kerja yang dapat diikuti, ada gambar tiga atau empat dimensi yang lengkap kajian teknis yang bisa dipedomani.
Bagaimana mengubah hati manusia? Inilah yang sangat sulit. Apalagi adegium di Ranah Minang sering mengatakan “nan angguak alun tantu iyo, nan geleng alun tantu tido”. Di bibir bisa saja dia berkata mendukung dan sangat setuju, tapi dalam tindakan bisnisnya justru bertolak belakang. Tak tertutup kemungkinan itu terjadi pada pemegang saham yang setuju dan sangat ingin melaksanakan konversi. Sudahkan keinginan itu linear dengan komitmen penempatan dananya? Justru yang terjadi sebaliknya. Sebagian daerah membagi kas daerah ke sejumlah bank umum konvensional BUMN.
Jika di tingkat pemegang saham saja lain di mulut namun lain pula di hati, tentulah jauh lebih rumit di tingkat nasabah lain dan calon nasabah lainnya. Ini linear dengan survei literasi syariah yang dilakukan setahun terakhir. Dikutip dari tulisan Dr Asyari dengan judul “Konversi Bank Nagari dan Dakwah Ekonomi” tanggal 3 Juli 2021 terlihat dengan nyata literasi syariah termasuk di Sumatera Barat sendiri sangatlah rendah.
Dari 100 orang yang diwawancarai hanya 14 orang yang memahami tentang perbankan syariah sementara 86 lainnya tidak memahami dengan baik. Artinya, hanya 14 persen pemahaman publik Sumatera Barat terhadap perbankan syariah itu sendiri. Literasi ini malah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2016 yang lalu. Inilah tugas terberat kita bersama terutama Masyarakat Ekonomi Syariah dan para pendakwah. Maksimumkanlah edukasinya, bukan merongrong masuk ke dalam bidang teknis operasional. Apalagi sampai mendukung dan tak mendukung konversi.
Begitu juga dengan market share perbankan di Sumbar saat ini. Dari 100 persen market share perbankan 93 persennya dikuasai perbankan kovensional sedangkan kurang dari 7 persennya dipegang perbankan syariah. Ini juga linear dengan total asset Unit Usaha Syariah Bank Nagari dengan total asset konsolidasi Bank Nagari. Unit Syariah Syariah berassetkan lk Rp2,3 Triliun sedangkan Bank Nagari konvensional berassetkan lk Rp27 Triliun.
Kalaulah tiga indikator ini dikomparasikan maka sama artinya 14 % : 86 % (Literasi), 7 % : 93 % (Market Share Perbankan) dan Rp2,3 Trliun : Rp27 Triliun (perbandingan total asset). Data ini menunjukan kepada kita betapa sulit dan beratnya menundukan dan mengubah hati masyarakat untuk beralih dari kovensional ke Syariah.
Parpol Vs Industri Keuangan Vs Risiko
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara partai politik, permainan politik dengan lembaga keuangan (perbankan). Partai politik dibangun dengan konsituen dan platform politik sedangkan perbankan dibangun modal uang dan diperkuat dengan trust publik.
Dua entitas ini salinglah bertolak belakang. Jika partai politik akan semakin besar dan menarik jika diterus digulirkan isunya di ruang publik dan mendapat atensi dari publik luas sedangkan perbankan justru sebaliknya. Makin digulirkan isunya ke ruang publik dengan cara-cara politis seperti saat ini maka semakin terganggu kepercayaan nasabahnya kepada lembaga keuangan tersebut.
Kenapa terganggu? Lumrah saja. Bagi kita yang berkantong cekak kalau menitipkan dan menyimpan dana di sebuah wadah sementara wadah itu selalu diributkan dengan gonjang ganjing tak jelas tentulah rasa cemas dan takut akan muncul. Untuk itu hentikanlah mempolitisir polemik ini. Bukankah masyarakat sudah memberikan amanat kepada Kepala Daerah, berikanlah kepercayaan kepada kami. Kami juga ingin menyampaikan bahwa kami sebagai Kepala Daerah tak lah bodoh-bodoh amat. Sebagai Kepala Daerah pun kami menginginkan Bank Nagari Syariah. Perbedaan kita hanyalah pada cara mewujudkan bank syariahnya, ingat cara bersyariahnya.
Ada satu hal yang mesti kita ingat saat ini. Kondisi ekonomi bangsa dan Sumbar sangatlah jauh berbeda dibandingkan tahun 2019 yang lalu. Kini ekonomi kita sedang rontok, ekonomi kita tumbuh minus. Jangankan untuk survival, untuk bertahan saja dunia usaha sangatlah sulit sekali. Untuk itu, biarkan Bank Nagari saat ini berkerja dengan tenang dan nyaman. Janganlah diusik usik dulu.
Begitu juga dengan aspek risiko. Sebagai pemegang saham kamipun harus mempertimbangkan banyak hal termasuk risiko yang akan muncul pascakonversi. Sudah jadi rahasia umum konversi menghasilkan “turbulensi” kinerja seperti yang terjadi pada BPD NTB. Intermediasi bank melambung, portofolio kredit terkunci, pendapatan bunga menurun, biaya operasional cenderung merangkak naik akibat penyesuaian sistem operasional termasuk jasa untuk fee consultan konversi yang nilainya mencapai miliaran, pencadangan (CKPN dan PPAP) meningkat. Muara akhirnya adalah menurunnya laba bersih usaha dan menciutnya deviden yang menjadi sumber PAD utama pemerintah daerah se Sumatera Barat saat ini. Bila kondisi sulit seperti itu terjadi siapa yang akan bertanggungjawab. Sudah tentu kami sebagai Kepala Daerah yang akan disalahkan oleh masyarakat.
Itu baru dari sisi risiko bisnis, belum lagi kita bicara konsekuensi dari keputusan. Khusus untuk konversi ini adalah hal yang jauh lebih sulit. Konversi ini bukanlah untuk coba-coba. Artinya, begitu diputus konversi maka kita tak bisa lagi kembali menjadi bank Umum Konvensional (BUK). Kalau kita ingin kembali ke konvensional maka kita harus memenuhi aturan layaknya membuat bank umum konvensional yang baru. Sanggupkah kita menyediakan modal Rp1 Triliun hingga sampai Rp3 Triliun dalam kondisi keuangan daerah yang berat akibat recofusing saat ini?
Sebagai salah satu pemegang saham saya melihat dan mengajak marilah kita berpikir jernih. Konversi tidaklah seperti membalik telapak tangan. Lebih baik kita besarkan saja Unit Usaha Syariah (UUS) yang ada saat ini beriringan dengan membesarkan Bank Konvensional. Masyarakat kita bisa memiliki pilihan, bisa konvensional atau syariah untuk bermitra dengan Bank Nagari. Tegasnya bagi yang tak ingin dengan konvensional maka bisa menempatkan dananya di Unit Usaha Syariah yang sudah ada, bagi yang tak ingin dengan sistem syariah bisa bermitra dengan yang konvensional.
Terakhir saya mengimbau akan jauh lebih arif dan bijak bila kita sebagai Kepala Daerah memaksimalkan pikiran dan waktu kita untuk membatasi penyebaran Covid-19 dan membenahi ekonomi daerah yang sudah rontok akibat Covid-19. Ini jauh lebih urgen dan lebih menyentuh kepentingan hidup orang banyak. (***)