Mak Datuak Hargianto Olah Sabut Kelapa, dari Nagari Ulakan ke Tiongkok
Padang Pariaman, Intrust – Asal ada kemauan dan bersungguh-sungguh, ternyata barang yang tidak bergunapun bisa diolah jadi berharga dan bernilai dolar. Itulah nasib sabut kelapa yang selama ini terbuang percuma di mana-mana, kini bernilai dan menjadi salah satu barang yang diekspor ke Tiongkok.
Kisah pabrik pengolahan sabut kelapa di Jorong Gantiang Tangah Padang, Nagari Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman (Sumbar) ini adalah sebuah sukses story. Sehingga kini, berapapun sabut kelapa yang diantarkan masyarakat ke pabrik itu, langsung dibeli dengan harga yang pantas yaitu rata-rata Rp15 ribu per kubik.
Akibatnya, masyarakat berebut menjual sabut kelapa ke pabrik sabut kelapa di Nagari Ulakan ini. Ada yang membawa dengan gerobak, dengan becak, dengan sepeda motor dan ada pula yang membawanya dengan mobil pick up. Pembelian sabut kelapa di pabrik ini sudah berlangsung sejak satu tahun lalu.
Pabrik sabut kelapa ini dikelola oleh Koperasi Sabut Kelapa (Kosapa) yang didirikan oleh Laksma TNI (Purn) Hargianto, SE, MM, M.Si (Han) Datuak Bagindo Malano Nan Hitam bersama 14 orang kawan-kawannya yang terdiri dari para perantau, akademisi, pensiunan dan pengusaha. Sebagai Ketua Kosapa adalah Efli Ramli, pengusaha yang sudah malang melintang di bisnis sabut kelapa.
Pabrik sabut kelapa yang mempekerjakan 20 orang masyarakat ini, mengolah sabut kelapa sehingga menghasilkan dua produk andalan yaitu cocofiber berupa bulu-bulu sabut kelapa dan cocopeat berupa serbuk atau tepung sabut kelapa.
Cocofiber digunakan oleh China dan Eropa untuk bahan pembuatan jok mobil mewah, untuk spring bed, bahkan untuk pembuatan kursi pesawat terbang. Sedangkan cocopeat atau serbuk digunakan untuk media tanam pengganti tanah serta diolah untuk pembuatan mebel, kertas kayu dan perabot mewah.
Menurut Mak Datuak Bagindo Malano Nan Hitamll ini, pasar sabut kelapa ini masih terbuka lebar di dunia. China saja membutuhkan 3.000 kontainer setahun produksi sabut kelapa berupa cocofiber dan cocopeat. Begitu juga Eropa membutuhkan 200 kontainer produksi sabut kelapa setahun. Belum lagi untuk kebutuhan dalam negeri, terutama untuk perusahaan pembuatan sofa mewah dan mebel berkualitas ekspor.
“Jadi berapa pun produksi sabut kelapa kita di Padang Pariaman ini akan terserap oleh pasar. Kita baru bisa produksi 50 ton cocofiber per bulan dan 100 ton cocopeat per bulan. Jika produksi stabil maka sangat membantu perekonomian masyarakat di Padang Pariaman, khususnya di sekitar pabrik kita di Nagari Ulakan,” kata Mak Datuak Hargianto, yang didampingi Manager Pabrik Kosapa Ronny, ST., Selasa (15/3/2022) pagi.
Hasil produksi Kosapa ini sudah dipasarkan ke luar negeri. Pada akhir Januari 2022 lalu, tiga puluh lima kontainer cocofiber dan cocopeat dari Nagari Ulakan dilepas secara resmi diekspor ke Tiongkok, China. Ekspor perdana itu ditandai dengan pemberangkatan iring-iringan mobil kontainer oleh Bupati Padang Pariaman Suhatri Bur, 31 Januari 2022.
Ide pendirian pabrik sabut kelapa di Ulakan ini memang didasari oleh keprihatinan atas banyaknya sabut kelapa yang menjadi sampah dan terbuang percuma. Sehingga dicari upaya untuk memanfaatkan sabut kelapa menjadi barang yang bernilai dan menghasilkan uang bahkan dolar karena diekspor keluar negeri.
Selain itu, pendirian pabrik sabut kelapa ini juga dapat menyerap tenaga kerja untuk masyarakat sekitar. “Kita tidak bicara yang muluk-muluk, tetapi sebuah gagasan yang konkrit saja, yaitu memanfaatkan sabut kelapa yang terbuang percuma dan membuka lapangan kerja,” kata Laksma TNI (Purn) Hargianto, SE.MM yang juga mantan Danlantamal II Padang.
Indonesia sendiri pun belum mampu memenuhi kebutuhan cocofiber dan cocopeat dunia. Dari hitungan tahun 2021, Indonesia hanya mampu memenuhi 3 persen kebutuhan produksi sabut kelapa dunia. Sisanya 97 persen dipasok oleh dua negara yaitu India dan Srilanka.
Karena begitu besarnya peluang usaha sabut kelapa ini, Mak Datuak Hargianto mengajak para perantau Minangkabau untuk ikut serta berinvestasi di bidang usaha ini.
“Nilai investasi yang diperlukan untuk pabrik sabut kelapa ini tidak besar, hanya sekitar Rp750 juta. Dan potensi bahan bakunya banyak sekali di Sumatera Barat,” kata Mak Datuak Hargianto yang sehari-hari adalah Wakil Ketua 1 LKAAM Sumbar. (*)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.