Padang, majalahintrust.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi sorotan publik sejak diluncurkan sebagai kebijakan unggulan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming. Program ini bukan hanya menjanjikan dampak sosial dan kesehatan besar, tetapi juga menjadi simbol nyata dari salah satu Astacita pemerintahan, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Namun, realita di lapangan memperlihatkan bahwa tanpa transparansi dan akuntabilitas, program besar ini rawan bergeser dari tujuan awalnya.
Melalui kacamata Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), evaluasi menyeluruh harus dilakukan, mulai dari pagu anggaran, serapan, pertanggungjawaban, hingga risiko patologi birokrasi dan potensi pemanfaatan bisnis yang bisa menggerogoti substansi program.
Dalam APBN 2025, pemerintah mengalokasikan pagu Rp.71 triliun untuk mendanai program MBG melalui Badan Gizi Nasional (BGN). Hingga awal September 2025, realisasi anggaran baru mencapai sekitar Rp 13 triliun atau 18,3 persen dari total pagu.
Dana tersebut sudah dimanfaatkan untuk melayani sekitar 22,7 juta penerima manfaat melalui 7.644 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Meski angka tersebut menunjukkan awal yang signifikan, target cakupan program sebenarnya jauh lebih besar, yakni 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir tahun.
Dengan sisa waktu yang terbatas, keraguan publik wajar muncul: bisakah program sebesar ini berjalan optimal ketika serapan anggaran justru masih rendah?
Rendahnya serapan anggaran bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga ancaman serius bagi efektivitas program. Dana yang menganggur dapat terbuang karena mekanisme birokrasi yang berbelit atau bahkan dialihkan ke sektor lain jika dianggap tidak mampu direalisasikan tepat waktu.
Pemerintah sendiri telah mengingatkan bahwa anggaran MBG bisa dievaluasi ulang jika hingga akhir Oktober serapannya tetap rendah. Bila hal ini terjadi, maka cita-cita mulia meningkatkan gizi anak bangsa terancam meleset, sementara publik kehilangan kepercayaan terhadap komitmen pemerintah dalam menjalankan janji kampanye.
Di sisi lain, muncul pula kekhawatiran terkait kualitas pelaksanaan program. Sejumlah kasus keracunan makanan massal yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa waktu terakhir menjadi alarm bahwa standar pengawasan pangan masih lemah.
Walau tidak semuanya terkait langsung dengan MBG, kasus-kasus ini membuktikan bahwa sistem distribusi makanan di Indonesia masih rentan.
Apabila jika MBG tidak dilaksanakan dengan standar ketat, bukan tidak mungkin kasus serupa akan merusak reputasi program, bahkan mengancam kesehatan anak-anak penerima manfaat. Di sinilah keterbukaan informasi publik berperan penting.
Orang tua, sekolah, dan masyarakat berhak mengetahui siapa penyedia makanan, bagaimana proses pengadaan dilakukan, serta standar gizi apa yang digunakan pemerintah.
Tanpa transparansi, masyarakat hanya menjadi penerima pasif, padahal kontrol sosial dari publik adalah benteng utama untuk memastikan mutu dan keamanan program.
Program berskala nasional seperti MBG juga rawan terjebak dalam patologi birokrasi. Penyakit kronis administrasi publik seperti korupsi, kolusi, nepotisme, hingga praktik _mark-up_ harga bisa dengan mudah merasuk jika pengawasan lemah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pengadaan makanan sering dijadikan ladang subur untuk rente politik maupun ekonomi.
Program sebesar Rp.71 triliun tentu menggiurkan bagi banyak pihak, dari perusahaan besar hingga jaringan lokal yang dekat dengan kekuasaan. Tanpa keterbukaan, potensi penyimpangan ini sulit dicegah.
UU KIP seharusnya menjadi instrumen untuk menutup celah tersebut. Publik harus dapat mengakses data siapa kontraktor yang menang tender, berapa harga per porsi, bagaimana kualitas bahan, dan bagaimana mekanisme pengawasan dijalankan.
Namun, transparansi hanya mungkin terwujud bila pemerintah memiliki komitmen kuat. Astacita pemerintahan Prabowo–Gibran yang menekankan pembangunan manusia seutuhnya akan diuji dalam implementasi MBG.
Apakah pemerintah mampu menghadirkan program yang benar-benar bersih, atau justru mengulang pola lama birokrasi yang transaksional dan penuh kepentingan? Pertanyaan ini akan menentukan arah kepercayaan publik dalam lima tahun ke depan.
Dari sisi ekonomi, MBG sebenarnya membuka peluang positif. Dengan skala yang sangat besar, program ini bisa menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi rakyat, terutama jika melibatkan petani, nelayan, dan UMKM lokal sebagai penyedia bahan pangan. Keberpihakan pada sektor produktif kecil akan memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus menggerakkan ekonomi desa.
Namun, potensi baik ini bisa berubah menjadi masalah jika hanya dinikmati oleh segelintir perusahaan besar atau kroni politik. Pemanfaatan bisnis program tanpa mekanisme transparansi akan menimbulkan kecemburuan sosial, memperlebar kesenjangan, dan menggerus legitimasi kebijakan.
Lagi-lagi, keterbukaan informasi menjadi kunci untuk memastikan bahwa manfaat program benar-benar sampai kepada masyarakat luas, bukan segelintir elit ekonomi.
Transparansi pada akhirnya bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi modal sosial yang menentukan keberhasilan program. Program MBG yang dijalankan dengan terbuka akan memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam memperjuangkan gizi anak bangsa dan membangun kepercayaan publik.
Sebaliknya, jika dijalankan secara tertutup, publik akan mencurigai adanya praktik penyalahgunaan anggaran. UU KIP menempatkan hak masyarakat atas informasi sebagai bagian dari demokrasi yang sehat.
Karena itu, kementerian, pemerintah daerah, hingga sekolah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan harus tunduk pada prinsip keterbukaan. Dengan begitu, MBG bukan hanya soal memberi makanan gratis, tetapi juga soal mengajarkan nilai integritas dan akuntabilitas dalam tata kelola negara.
Program Makan Bergizi Gratis memang berpotensi menjadi tonggak besar dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia. Dengan anggaran Rp.71 triliun, skala penerima hingga puluhan juta orang, dan dukungan politik yang kuat, MBG bisa menjadi warisan penting pemerintahan Prabowo–Gibran.
Namun, semua itu akan sia-sia jika transparansi diabaikan dan birokrasi kembali dikuasai praktik lama. Keterbukaan, pengawasan publik, serta keberanian pemerintah untuk menindak tegas setiap penyimpangan adalah kunci agar program ini tidak hanya menjadi janji besar, melainkan benar-benar menghadirkan perubahan nyata bagi generasi penerus bangsa. Penulis adalah Ketua Komisi Informasi Sumatera Barat