PADANG,Intrust – Mediasi antara warga Padang yakni Hardjanto Tutik dengan Presiden Joko Widodo terkait gugatan utang pemerintah sejak tahun 1950 yang digelar di Pengadilan Negeri Padang, Rabu (26/1) gagal menemui kesepakatan.
Pada mediasi yang difasilitasi Pengadilan Negeri Padang hakim Reza Himawan Pratama itu tidak menemui kesepakatan antara penggugat dengan tergugat.
Tergugat Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan dan ikut tergugat DPR RI tidak bersedia membayar utang tersebut.
Dalam jawaban tertulis tergugat Menteri Keuangan yang diwakili 12 orang pengacara itu disebutkan berdasarkan ketentuan Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 466a/1978 diatur surat obligasi yang telah lewat waktu lima tahun sejak tanggal ditetapkannya keputusan pelunasan tanggal 28 November 1978, namun jika tidak diuangkan maka akan kadaluarsa.
“Berdasarkan hal tersebut di atas oleh karena surat obligasi yang diklaim oleh penggugat sebagai mana mestinya tidak dimintakan/ditagihkan pelunasannya paling lambat lima tahun sejak KMK tersebut, maka surat obligasi tersebut jadi daluarsa sehingga proposal permohonan penggugat tidak dapat kami penuhi,” kata Didik Hariyanto dan kawan-kawan di jawaban tertulisnya.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum penggugat Amiziduhu Mendrofa mengaku kecewa dengan jawaban tergugat.
“Ini jawaban Presiden dan Menteri Keuangan tidak mau membayar. Saya sangat kecewa. Harusnya, klien saya mendapat penghargaan karena berjasa membantu negara, sekarang uangnya belum dikembalikan,” kata Mendrofa usai mediasi.
Mendrofa mengatakan sangat aneh alasan tidak mau membayar utang karena alasan kadaluarsa seperti KMK tersebut.
Padahal sebut Mendrofa, KMK itu mengangkangi Undang-Undang nomor 24 tahun 2002, tentang surat hutang negara (obligasi) tahun 1950, menyebutkan program rekapitalisasi bank umum, pinjaman luar negeri dalam bentuk surat hutang, pinjaman dalam negeri dalam bentuk surat hutang, pembiayaan kredit progam, yang dinyatakan sah dan tetap berlaku sampai surat jatuh tempo.
“Dalam undang-undang sudah dinyatakan sah, kenapa di KMK bisa disebut kadaluarsa. Aneh, utang kok bisa kadaluarsa,” jelas Mendrofa.
Mendrofa menerangkan UU jelas lebih tinggi tingkatannya dari KMK yang belum terdaftar dalam lembaran negara Republik Indonesia.
Mendrofa pun menyinggung kliennya yang sudah membantu pemerintah dalam keadaan negara kesulitan.
“Tapi sekarang klien saya yang dipersulit untuk meminta uangnya kembali,” jelas Mendrofa.
Menurut Mendrofa, karena mediasi gagal maka pihaknya siap melanjutkan gugatan ke persidangan.
“Akan lanjut ke sidang nantinya,” kata Mendrofa menegaskan.
Belum sempat diambil
Mendrofa mengatakan setelah proses peminjaman dilakukan, Lim belum sempat mengambil bunga maupun pinjaman pokoknya.
“Awalnya Lim belum mengambil bunga atau pinjaman pokoknya karena peduli dengan kondisi pemerintah yang kesulitan keuangan,” kata Mendrofa.
Hingga tahun 1975, Lim mukai sakit-sakitan dan kemudian tahun 2011 meninggal dunia.
Setelah meninggal, warisan Lim dilimpahkan ke anaknya sehingga anaknya Hardjanto baru mengetahui tentang keberadaan surat utang negara itu.
Menurut Mendrofa, kliennya sempat meminta uang itu ke negara, namun ditolak dengan alasan sudah kadaluarsa.
“Hingga akhirnya beliau bertemu saya dan meminta untuk mengurusnya melalui gugatan pengadilan,” tukas Mendrofa.
Diberitakan sebelumnya, seorang warga Padang, Sumatera Barat, Hardjanto Tutik menggugat Presiden Joko Widodo terkait utang Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1950.
Hardjanto merupakan anak kandung dari Lim Tjiang Poan, yang merupakan pengusaha rempah yang meminjamkan uang kepada Pemerintah Republik Indonesia tahun 1950 lalu.
Kuasa hukum Hardjanto, Amiziduhu Mendrofa mengatakan proses utang piutang berawal dikeluarkannya undang-undang darurat RI No. 13 tahun 1950 tentang pinjaman darurat, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 18 Maret 1950 dan ditanda tangani Presiden RI, Soekarno.
“Dengan adanya Undang-Undang itu dan negara sedang dalam kesulitan maka saat itu Lim Tjiang Poan meminjamkan uangnya kepada Pemerintah RI,” kata Mendrofa Jumat (21/1) lalu.
Menurut Mendrofa, berdasarkan bukti penerimaan uang pinjaman oleh tergugat yang ditanda tangani oleh Sjafruddin Prawiranegara selaku menteri keuangan tahun 1950 sebesar Rp80.300, dengan bunga sebesar 3 persen per satu tahun, berdasarkan peraturan perundang-undang.
Mendrofa mengatakan pada bukti surat pinjaman pemerintah tahun 1950 dengan nilai satu lembar adalah sebesar Rp10.000 dan jumlah lembaran pinjaman pemerintah RI sebanyak 3 lembar dengan, nomor X 7155505 X 715514 dengan jumlah pinjaman sebesar Rp30.000 serta foto kopi.
Bukti surat pinjaman pemerintah tahun 1950 dengan 1 lembar sebesar Rp1000 dan jumlah pinjaman pemerintah RI sebanyak 36 lembar.
Bunga pinjaman 3% per satu tahun dari pokok pinjaman Rp80.300, bunga satu tahun Rp2.409 dan bunga pinjaman pokok konversikan pada emas murni, maka dapat emas seberat 0,603 kg per satu tahun.
Pinjaman Pemerintah Indonesia, terhitung dari tanggal 1 April 1950 sampai 2021 sudah 71 tahun X bunga dikonversikan dengan emas 0,633 kg adalah sebanyak 42,813 kg emas murni.
“Jika diuangkan sekarang mencapai Rp 60 miliar,” kata Mendrofa.(kld)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.