Padang – Perjalanan sukses bisnis dari nol yang dirintis pendiri Alibaba.com tentu sudah banyak yang membaca. Begitu pula dengan cerita kehidupan “Si Anak Singkong” pemilik CT Corp, Chairul Tanjung atau kisah sukses pengusaha Kemfood dan Kemchick Bob Sadino. Namun banyak juga pengusaha Minang yang sukses merintis usaha from zero to zero. Salah satunya, Drs. H.Asril Das (65), tokoh Minang di Jawa Barat yang dikenal sebagai “Raja” Buku dan bisnis perhotelan.
Merintis usaha dengan berpeluh, dari bawah, dan mengalami jatuh bangun hingga bangkit lagi, itulah proses panjang yang dilalui Asril Das, pengusaha toko buku, penerbitan, percetakan dan bisnis perhotelan.
Pria kelahiran Jorong Lubuk Agung, Koto Baru, Kabupaten Solok, 10 Oktober 1954 memulai usahanya dengan menjadi tukang cukur rambut keliling, berjualan rokok, dan berkebun cabe.
Cikal bakal bisnis yang dijalaninya sudah dimulai sejak SD dengan berjualan rokok dengan keranjang telor di tempat-tempat keramaian. Ketika duduk di bangku SMP, Asril sudah diajar mencari uang oleh sang bapak dengan menjadi tukang cukur rambut, hingga menjadi tukang cukur profesional.
Pada saat sekolah di SMA ia sudah punya kios cukur sendiri sambil jualan rokok dan permen. Kios cukur rambut itu berukuran 4×5 meter, terletak di pusat Nagari Kotobaru, depan mesjid raya, atau di samping balai adat dan sekolah PGA Negeri. Setiap hari sepulang sekolah, Asril Das selalu ada di kiosnya hingga sore.
“Meski menjual rokok, Alhamdulillah sampai sekarang saya tidak merokok,” tutur Asril Das.
Asril Das menamatkan SMA di Solok pada tahun 1974. Selepas SMA, dia ingin melanjutkan ke Fakultas Ekonomi Gajah Mada, karena ia ingin berkerja di bank. Namun tidak lolos tes masuk UGM
Gagal masuk UGM, Asril berkeinginan masuk sekolah perhotelan (NHI) di Bandung.Namun ia memilih membatalkan masuk NHI karena uang kuliahnya mahal. Akhirnya atas saran dari teman-temannya, dia memutuskan masuk test IKIP Bandung jurusan Ekonomi Perusahaan.
Dari usahanya di kampung halaman, dan ditambah modal pemberian sang ayah, Asril Das berangkat merantau ke tanah Pasundan, Bandung pada 1974. Sambil kuliah di IKIP Bandung, dimulailah bisnis di rantau orang.
“Modal awal saya berbisnis hanyalah Rp40.000. Uang ini adalah sisa belanja kehidupan saya sejak Oktober 1974 hingga April 1975 serta sisa pembayaran uang kuliah di IKIP Bandung,” tutur putra dari pasangan H.Darusi Datuk Malintang Alam, dan Hj.Samsinar itu.
Di rantau orang, Asril Das muda melalui perjalanan pahit getir kehidupan. Bisnis pertama sambil kuliah yang dilakukannya adalah menerima ongkos mengetik paper.
Kemudian ia juga menjadi “kacung” main tenis, mengajar mengaji di mesjid kampus. Selain itu, ia menjual buku ke teman-teman kuliahnya. Buku-buku itu dibelinya dari toko buku. Usahanya kemudian terus meningkat.
Tahun 1978 ia memiliki kios buku di Cikapundung Bandung. Tahun itu juga dia memiliki toko buku eceran di jalan Sunda Bandun. Kawasan itu hingga tahun 1998 terkenal sebagai pusat toko buku.
Asril Das saat itu dikenal sebagai grosir buku keliling mulai dari Bandung, Bogor, Cirebon, Cianjur, dan Tasikmalaya.
Tahun 1980 kios-kios buku Cikapundung dipindahkan oleh Pemerintah Kota Bandung ke Palasari. Di daerah ini usaha buku Asril makin berkembang, dengan rumah makan bareh solok, toko buku eceran, toko buku grosir, dan line usaha grosir buku sampai ke Kota Yogjakarta, Solo, Surabaya, Bali, Mataram, Makasar, Kendari, Menado, Palu, Gorontalo , Kalimantan, dan Sumatra.
“Saya memasok buku hampir ke seluruh toko buku di seluruh Indonesia, dan sebagai grosir buku-buku cetak,” kata pengusaha yang pernah 3,5 tahun tinggal di masjid kampus IKIP Bandung.
“Orang kampung saya banyak yang tidak mengetahui tentang kepedihan hidup saya di perantauan. Hidup susah yang saya alami waktu itu, tidak pernah saya beritahukan kepada orang tua saya dan keluarga lainnya. Prinsipnya saya tidak mau menyusahkan keluarga sendiri. Saya mencoba hidup mandiri, pokoknya saya bertekad dan berniat bahwa saya harus jadi sarjana dan juga punya banyak uang,” kata Asril yang menamatkan SD di Kotobaru, SMP di Selayo dan SMA tahun 1974 di Kota Solok.
Setelah melalui berbagai perjalanan sulit dalam kehidupannya, suami dari Hj.Aflina Nuzwar itu menjadi pengusaha sukses. Toko buku, penerbitan, dan percetakannya tersebar di Bandung, Medan, Padang, Medan dan Solok. Nama toko bukunya Lubuk Agung, merupakan nama jorong tempat kelahirannya di Kabupaten Solok.
Asril Das bahkan memiliki percetakan lengkap dengan mesin-mesin cetak di atas tanah 3 hektar, dengan luas bangunan 10.000 meter .
Sukses yang diraih Asril Das tersebut tidak terlepas dari prinsip-prinsip hidup yang dianutnya. Ia adalah seorang pekerja keras yang berprinsip “Tiada Kesuksesan Tanpa Kerja Keras.” Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu berusaha untuk jujur, tidak suka berfoya-foya.
“Saya menyadari betul tiada orang lain yang akan memikirkan masa depan kita kecuali diri sendiri. Namun hidup hemat bukan berarti pelit.
Bagi saya, hidup berfoya-foya adalah kesia-siaan belaka,” kata alumni IKIP Bandung tahun 1980 itu.Kunci sukses Asril Das lainnya adalah, hormat dan patuh kepada kepada orangtua, ikhlas, rajin, jujur, disiplin dan sabar.
Ulama Sumatera Barat Drs.H.Mas’oed Abidin menilai, Asril Das itu sebagai pebisnis berbasis budaya. “Beliau berpandangan jauh kedepan, membangun generasi,” kata Buya.
Menurut buya, ada satu keistimewaan beliau itu, yakni tidak punya kosa kata putus asa, lelah dalam kamus hidupnya. Optimisme sebagai anak kampung yang mendapatkan pengajaran surau dan rumah gadang dari keluarga sederhana merakitnya menjadi modal besar bagi perantau Minang di Jawa Barat khususnya kota kembang Bandung. Beliau berhasil memadukan hati dan cita cita dalam ikatan silaturahim dan mampu pula menularkan kepada perantau Minang di Jawa Barat bahkan Nasional.
Ketika memasuki milenium ketiga di awal tahun 2001 Asril Das mampu menghimpun para pemikir dan pemuka Minang untuk urug rembuk di Bandung dalam meretas pemikiran Minang yang Galau memasuki milenium baru itu. Tidak tanggung tanggung ikut bicara ketika itu Azwar Anas, Fachri Ahmad, Fasli Jalal, Saafroeddin Bahar, Azmi, dan banyak pakar lainnya. Tidak tanggung tanggungpertemuan itu berlangsung di kompleks Kampus ITB yang punya sejarah itu.
Satu lagi yang penting, kata Buya Masoed, beliau mempraktekkan budaya Minangkabau dengan adagium adatnya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabbullah (ABSSBK) maka beliau berpijak pada satu titik saja yaitu adat Minang itu adalah agama Islam. Ketika agama ini diabaikan maka sesungguhnya kita telah menghapus adat Minang itu.
” Perspektif seperti ini yang memacu bisnis beliau sehingga melahirkan kepercayaan berbalut kejujuran yang buahnya adalah keberhasilan bisnis. Itulah sosok Asril Das yang berbalut kuat ikatan silaturahim,” kata Buya Masoed. (bersambung)