Prof Elwi Danil di Sidang Pra Peradilan Korupsi Sapi Sumbar : Jika Menyalahi Aspek Prosedural Penerbitan SPDP dan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, Penetapan Tersangka Dinyatakan Tidak Sah
PADANG, majalahintrust.com – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand ) Prof. Dr. H. Elwi Danil, SH, MH menjadi ahli dalam sidang Praperadilan kasus korupsi pengadaan sapi bunting Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnak Keswan) Provinsi Sumatera Barat di Pengadilan Negeri Kelas 1A Padang. Kamis (10/8/2023).
Seperti diketahui, Sidang Pra Peradilan pada kasus tersebut dipimpin oleh Hakim Anton Rizal Setiawan, S.H., M.H, didampingi Panitera Pengganti Harry Yurino.
Dalam keterangannya sebagai ahli, Elwi Danil memaparkan terkait lembaga mana saja yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan perhitungan terhadap kerugian keuangan negara. Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, bahwasanya yang memiliki kewenangan untuk “mendeclare” kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kemudian pada pasal berikutnya di dalam SEMA tersebut ditegaskan pula, bahwa instansi lainnya seperti BPKP, Inspektorat tetap berwenang memeriksa pengelolaan keuangan negara. Namun mereka tidak berwenang men “declare” adanya kerugian keuangan negara.
“Sebelumnya ada keberatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan KPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap kerugian keuangan negara. Lalu pada saat itu keluar Putusan MK yang mengatakan yang berhak melakukan hal tersebut adalah BPK, BPKP dan Inspektorat. Namun dalam putusan MK tersebut dinyatakan pula bahwa KPK juga berwenang dan berkoordinasi dg BPK atau BPKP. Setelah adanya polemik itulah demikian keluar Surat Edaran MA tadi, bahwasanya yang berwenang adalah BPK dan Satuan Pemeriksa Internal,” ucap pria yang kerap menjadi saksi ahli perkara besar di Tanah Air ini.
Berkaitan dengan kasus ini ucap Elwi Danil, seharusnya penegak hukum menggunakan hasil audit investigatif yang dilakukan oleh inspektorat. Audit Investigatif adalah proses mencari, menemukan dan menganalisis bukti-bukti secara sistematis oleh pihak yang kompeten dan independen untuk mengungkapkan fakta dan kejadian sebenarnya tentang indikasi tindak pidana korupsi atau tujuan spesifik lainnya.
“Dalam salah satu pedoman yang dikeluarkan BPK yang pernah saya baca, Kalau praktik kerugian keuangan negara tidak rumit, tidak perlu diaudit dan kejaksaan dapat memeriksa sebagai penyidik. Jikalau perkara-perkara tersebut complicated dan rumit, maka seyogyanya jaksa meminta kepada BPK atau BPKP dan insititusi pemerintah dalam hal ini inspektorat untuk melakukan audit investigasi dan bukan mengaudit sendiri, dengan demikian meletakkan posisinya tidak independen,” tegasnya.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Unand ini juga menjelaskan penetapan seseorang menjadi tersangka dibutuhkan bukti permulaan yang cukup. Dalam
( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP pada pasal 184 diatur tentang alat bukti yang sah dengan lima kategori yakni keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
“Secara teoritik dan praktik sebuah alat bukti tersebut dikatakan sah apabila dilihat dari dua sisi. Pertama dari aspek formal di mana cara mendapatkan alat bukti tersebut dalam undang-undang juga diatur bagaimana prosedur mendapatkan alat bukti. Jika alat bukti tersebut didapatkan dengan cara-cara yang tidak formal dan tidak prosedural, maka alat bukti tersebut dapat dianggap sebagai alat bukti yang tidak sah. Terkait dengan alat bukti dikatakan sah juga harus melihat secara materil di mana harus dilihat dari sifat dan karakteristik alat bukti itu sendiri,” tuturnya.
Terkait dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Elwi Danil mengatakan dalam sebuah proses penegakan hukum, SPDP merupakan sebuah konsep dan pengertian yang lahir dari ketentuan KUHAP yang menunjukan penyidik harus memberitahukan kepada penuntut umum tentang dimulainya penyidikan.
Elwi Danil mengatakan esensi yang sesungguhnya dari SPDP sendiri adalah mekanisme kontrol. Akan tetapi hal ini dapat dikaitkan dengan hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka, antara lain hak untuk membela diri sehingga dengan demikian tidak ada salahnya juga SPDP diberitahukan kepada si terlapor sehingga dengan demikian dengan diberikan SPDP, ia telah mengetahui posisinya sehingga ia dapat mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan pembelaan dirinya.
“SPDP itu harus disampaikan dalam tempo tujuh hari sejak surat perintah penyidikan itu dikeluarkan. Jikalau sudah melewati batas waktu tentu menyalahi aturan prosedural. Keputusan MK terkait dengan kewajiban penyampaian SPDP itu menurut saya merupakan bagian dari koreksi terhadap praktik penegakan hukum yang ada selama ini yang cenderung menyampaikan SPDP itu bersamaan dengan berkas perkara. Melihat dari kasus yang disampaikan, tentunya ini sudah menyalahi aspek prosedural,” pungkasnya. (Ridho)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.