Padang, Intrust – Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar Rabbani, Rais Mustasyar Dewan Ulama Thariqah Internasional, di Istanbul Turki, yang kebetulan juga berdarah Minang, angkat bicara perihal upacara penyatuan tanah dan air yang berlangsung titik nol IKN, beberapa waktu lalu.
Saat ditanya melalui wawancara singkat tentang polemik antara Gubernur Sumatera Barat dengan Ketua MUI Sumbar, mengenai ritual dalam rangkaian upacara penyatuan tanah dan air yang diserahkan oleh para Gubernur, termasuk diantaranya Buya Mahyeldi, Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar Rabbani memberikan tanggapan yang menyejukkan.
Beliau menyampaikan, ia percaya kritik yang disampaikan Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Bahar adalah untuk kebaikan umat, hanya alangkah baiknya jika terlebih dahulu bertabayun dengan Gubernur, Buya Mahyeldi, yang diketahui ikut menyerahkan tanah dari Pasaman dan air dari Gunung Talang.
“Saya yakin Ketua MUI Sumbar mengkritik Gubernur pasti untuk kebaikan umat, namun dalam hal ini seharusnya beliau terlebih dahulu bertabayun dahulu dengan Gubernur,” ujar Syekh Muhammad Ali Hanafiah.
Sementara terkait upacara yang telah berlangsung tersebut, Syekh Muhammad Ali Hanafiah berpandangan hal itu hanya kegiatan simbolis, yang tak berkaitan dengan ritual, apalagi menyangkut keagamaan.
“Dalam pandangan kami, penyatuan tanah dan air dari seluruh Indonesia semata-mata hanya simbol saja, bukan sebagai ritual keagamaan tertentu. Kalaupun itu adalah sebuah kebudayaan dari suatu daerah, selagi tidak merusak akidah, maka boleh-boleh saja Pak Gubernur mengikutinya,” tanggap beliau.
Dengan ramah Ia juga berpesan, agar jangan sampai kita menjustifikasi seseorang keluar dari akidah islamiyah, tanpa memahami dasar hukum mengenai seseorang yang telah menyimpang dari akidahnya. Karena menurutnya, akidah merupakan pondasi besar agama, ibarat emas murni 24 karat, jika bercampur sedikit saja maka emas tersebut tidak lagi dikatakan emas murni, begitu pun dengan akidah.
“Seseorang baru dapat dikatakan sudah menyimpang dari akidah, yakni bila dia menambah-nambahkan atau membuat-buat ucapan dan perbuatan yang dapat melemahkan keyakinannya terhadap Allah SWT. Bahkan jika seseorang secuil saja menyamakan sesuatu dengan sifat dan kekuasaan Allah SWT, itu sudah dianggap menyimpang dengan akidah Islam.”
“Dan apa yang dilakukan para gubernur hanyalah sekedar simbolik saja, sama sekali tidak bersangkutan dengan akidah, apalagi akan merusak akidah,” tegasnya lagi.
Menurutnya memang, jika kita mau jujur, dalam kehidupan sehari hari, kita banyak memakai simbol, bahkan Ka’bah di Masjidil Haram sendiri menurut Syekh juga dapat diartikan sebagai sebuah simbol untuk persatuan umat, dan bukan merupakan tujuan sujud dan rukuk kita kepada Allah SWT.
“Rujuk dan sujud kita hanya bertujuan untuk menyembah Allah SWT yang keberadaaNya lebih dekat dengan urat lehermu. Jika Ka’bah dijadikan sebagai perwakilan penyembahan Tuhan, maka apa bedanya kita dengan umat terdahulu, yang jahiliyah, yang membuat patung berhala sebagai perwakilan wujud Tuhan di dunia?” katanya.
“Oleh karena itu, Saya tegaskan jika apa yang dilakukan para Gubernur, termasuk Buya Mahyeldi merupakan sekedar simbol saja, bukanlah hal yang menyimpang dari akidah islamiyah. Saya harap kita tidak lagi berpolemik dalam hal ini, dan Ketua MUI Sumbar juga jangan terlalu terburu buru dalam mengeluarkan pernyataan yang seharusnya mesti bertabayun dahulu dan dapat didudukan bersama.”
“Karena bagaimanapun, MUI merupakan lembaga yang sangat kita hargai dan telah menjadi tugas kita untuk menjaga marwahnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Buya Hamka dahulu,” ujar Shekh Muhammad Ali Hanafiah mengakhiri. ns
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.