Keterangan :
Simbol T : Tanya (wartawan)
Simbol J : Jawab (Siti Fadillah Supari)
T : Bisa diceritakan sedikit pengalaman Anda saat menangani pandemi flu burung dan flu babi?
J : Pada waktu flu burung, saya bisa mematahkan secara saintifik bahwa pernyataan WHO yang mengatakan sudah terjadi human to human transmission itu bohong belaka. Itu karena mereka hanya menggunakan kriteria epidemiologi, sedangkan saya menggunakan virologi yang lebih definit.
Kemudian, saya protes ke PBB dan pernyataan pandemik dicabut oleh WHO pada 2006. Setelah itu, saya membuat resolusi yang akhirnya didukung oleh 128 negara. (Kami) menghadapi negara adidaya yang selama ini membiayai WHO dan membuat sistem yang tidak adil. Resolusi Indonesia, di bawah kepemimpinan saya, berhasil disetujui di dunia tahun 2011. Mulai saat itu, lalu lintas virus ganas harus transparan.
Saya itu tidak hanya menduga tentang kongkalingkong WHO dengan perusahaan-perusahaan farmasi. Tapi, saya melihat buktinya ketika parlemen Uni Eropa menggerebek WHO saat itu.
T : Untuk flu babi seperti apa?
J : Waktu itu terjadi di tahun 2009. Pada pertengahan tahun 2008, saya tahu virus H1N1 Puerto Rico, yang kemudian disebut flu babi, itu berada di CDC (Centre for Disease Control and Prevention) Atlanta. Saya tahu dan berkomunikasi dengan pejabatnya di sana.
Sewaktu WHO mengembalikan virus H5N1 yang saya minta, ternyata ada yang tercampur dengan H1N1. Ketika pandemi flu babi merebak, saya meneriakkan bahwa virus itu berasal dari laboratorium besar dan bukan berasal dari binatang seperti yang dikatakan WHO. Suara saya ternyata ada gayung bersambut dengan para ahli dari Kanada dan Eropa. Akhirnya, pandemi itu berhenti. Hanya Meksiko yang hancur ekonominya.
Indonesia belum terimbas sama sekali karena saya bekerja sama dengan negara yang ada di perbatasan dengan Indonesia, yaitu Singapura, Brunei, Malaysia yakni, bila ada WNI H1N1 positif, tidak boleh masuk Indonesia. Saya minta tolong agar diobati dulu di negara Singapura, Malaysia atau Brunei dan saya handle sendiri untuk mengumumkan hasil pemeriksaan spesimen orang yang suspect.
T : Apa kunci keberhasilan pemerintah ketika itu?
J : Pertama, pemimpin dalam mengatasi pandemik flu burung, waktu itu Menkes, menguasai substansi ilmiah tentang virus outbreak maupun substansi politik kesehatan. Kedua, menguasai aturan internasional tentang kesehatan, antara lain IHR (International Health Regulation) tahun 2005. Kapan pandemik boleh di-declare dan sebagainya. Jadi, kita tidak bisa ditipu oleh lembaga, yaitu WHO.
Ketiga, tidak takut dengan siapa pun untuk melindungi bangsa dan negaranya. Keempat, menggalang kekuatan politik antarnegara di dunia dengan transparency, equity dan fairness. Ternyata negara besar seperti Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, India, dan China langsung berdiri di belakang kita ketika kita berhasil meyakinkan mereka bahwa yang kita perjuangkan adalah untuk keselamatan dunia.
T : Saat ini, pemerintah pusat kerap terlibat silang pendapat dengan pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19. Pada saat Anda memimpin penanganan flu burung, apakah situasi seperti ini juga terjadi?
J : Waktu saya mimpin penanganan flu burung, tidak ada tarik-menarik antara pusat dan daerah. Sepertinya ada UU Otonomi Daerah, kalau ada bencana nasional, the leader adalah pusat. Waktu itu kompak banget. Saya yang mimpin, Bapak SBY tut wuri handayani. Kalau beliau kurang paham atau punya pandangan lain, saya dipanggil untuk diskusi. Saya sangat apresiasi sikap beliau dalam memimpin, menempatkan ahli di tempatnya. Beliau mengikuti, menolong bila dibutuhkan, memberikan semangat, dan menguatkan aturan birokrasi yang kami perlukan.
T : Apa saja aset yang dimiliki bangsa ini untuk melawan pandemi Covid-19?
J : Terus terang saya menangis. Sebenarnya Covid-19 ini bisa dilawan di China ketika (kasus-kasus awal) mulai muncul pada 1 Januari sampai dengan 31 Januari. Tapi, itu tidak dilakukan oleh China dan berlanjut ke tanggal 11 Maret ketika Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi. Tidak seorang pun protes apakah kriteria PHEIC (Public Health Emergency of International Concern) yang (dikeluarkan WHO) tanggal 31 Januari itu benar? Dan, kriteria pandemik saat itu apakah sudah sesuai? Semuanya terjadi begitu saja. Padahal, waktu antara itu sangat penting untuk kita bersiap-bersiap. Tapi, tidak ada yang perhatian.
Akhirnya (Covid-19 sampai) ke negara kita. Saya itu, meskipun saya dipenjara, saya ikuti terus detik demi detik. Saya hanya bisa menangis karena saya tidak bisa berbuat apa-apa. Berteriak pun tidak akan didengarkan. Di sini yang para pemimpin lupa, team saya, waktu itu, sebenarnya adalah aset yang berharga karena berpengalaman langsung dengan pandemi dan bisa melihat solusinya. Tapi, tidak ada yang ingat. Mungkin, saya ada di dalam penjara, dipikir saya sudah jadi orang tolol. Ya, sudah, saya melihat saja dengan menangis.
Rumus saya bahwa yang mimpin penanggulangan Covid-19, apa pun namanya, adalah harus orang yang menguasai substansi ilmiah dan substansi politik kesehatan sekaligus. Tampaknya, ini tidak terjadi dalam (penanganan) Covid-19 di Indonesia. Ini bencana kesehatan. Bukan bencana gempa atau tsunami. Penanganannya tentu sangat beda.
Aset-aset fisik dari (penangangan) flu burung sangat bisa digunakan. Misalnya, saya dulu membuat 100 ICU (intenstive care unit) khusus flu burung di seluruh Indonesia. Saya dulu juga sangat dekat dengan ahli virologi seluruh Indonesia untuk membuat program pencegahan dan sebagainya. Lab litbangkes yang sekarang adalah peninggalan (penanganan) flu burung yang sangat baik, misalnya, di RS Sulianti Saroso dan sebagainya.
T : Para guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menganggap institusi dan fasilitas kesehatan kita tidak bakal mampu mengatasi pertambahan pasien yang masif karena Covid-19. Anda sepakat?
J : Fasilitas rumah sakit tidak akan mampu mengatasi ledakan (jumlah) orang sakit karena Covid-19. Maka, yang harus dikerjakan adalah pencegahan yang efektif, yaitu physical distancing dan screening masif dan serentak. Dengan begitu, akan jelas mana yang positif dan negatif Covid-19.
Screening harus menggunakan swab test yang sesuai dengan virus kita, setara dengan pemeriksaan menggunakan PCR (polymerase chain reaction), tapi langsung bisa dibaca (hasilnya). Yang menggunakan metode ini Korea, Singapura, Middle East. Kita belum punya. Tapi, (alat) rapid test yang dibeli ada harus dilihat juga. Ada risikonya karena virusnya memang tidak sama.
Selain itu, membuat isolasi mandiri. Itu untuk yang positif asimtomatik dan akan mengurangi penderita berat. Membuka rumah sakit yang menampung banyak pasien baik, tapi harus disertai infrastruktur yang betul.
T : Hari-hari ini, DKI Jakarta dengan fasilitas dan infrastruktur kesehatan relatif komplet saja kewalahan. Kondisi daerah tentu bakal lebih parah. Solusinya apa?
J : Memang infrastruktur kesehatan kita tidak akan bisa menampung penderita Covid-19 bila cara pencegahannya masih seperti ini.
T : Jokowi telah menetapkan status darurat kesehatan masyarakat dan mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk meredam wabah Covid-19. Anda menilai itu cukup?
J : PSBB baik bila dijalankan dengan disiplin, tapi itu tidak akan efektif bila tidak disertai screening masif serentak dengan swab rapid test yang sesuai dengan virus kita.
T : Anda sepakat tidak perlu karantina wilayah atau lockdown?
J : Tidak perlu lockdown. Keputusan politik Pak Jokowi sudah tepat karena lockdown akan berdampak buruk terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi, sedangkan untuk dampak kesehatannya tidak akan banyak berbeda dengan PSBB.
Lockdown risiko ekonominya pasti lebih berat dari PSBB, sedangkan risiko politiknya, bisa-bisa kita kehilangan kedaulatan bangsa. Untuk mencegah penyebaran Covid-19 hanya dengan screening masif dan serentak, di samping pemberlakuan PSBB. Kemudian, yang positif diisolasi.
T : Sejumlah negara memang tidak menempuh lockdown tapi berhasil melawan Covid-19, contohnya Korsel. Tapi Korsel bertindak cepat dengan melakukan screening secara luas. Indonesia kan tidak melakukan itu. Pendapat Anda?
J : Kunci Korsel mencegah penularan terletak pada screening masif dan serentak pada waktu penderita positif masih sedikit.
T : PSBB dianggap belum efektif di lapangan. Apa yang membuat Anda yakin kebijakan ini lebih baik ketimbang lockdown?*
J : PSBB harus lebih diaktifkan dan dengan berkeadilan sosial, tapi harus sesuai dengan preambul (UUD) 45 yang mengatakan bahwa pemerintah harus melindungi rakyatnya sebaik-baiknya.
T : Khusus untuk screening massal, apa saran Anda supaya efektif? Perlukah tes massal Covid-19 digratiskan bagi warga miskin sebagaimana di AS dan Korsel?
J : Syarat satu, screening masal harus masif serentak terhadap jumlah yang besar. Kedua, menggunakan alat tes cepat yang setara PCR dan sesuai dengan virus kita. Ketiga, dilaksanakan dengan sistematis dan harus gratis.
T : Untuk deteksi Covid-19, Indonesia sepertinya masih kebingungan. Semula pakai RT-PCR. Dikritik hasilnya terlalu lama, maka pemerintah menambah rapid test. Tapi, itu juga dikritik karena tidak akurat. Kini, diusulkan pakai TCM yang biasa dipakai untuk mendeteksi TBC. Menurut Anda, pilihan mana yang cocok untuk Indonesia?
J : Untuk mendeteksi virus, saya sarankan dengan PCR dengan spesifikasi primer yang sesuai dengan virus Indonesia. Untuk TCM, saya tidak tahu apakah itu kompatibel untuk Indonesia. Sekali lagi, (kuncinya pada) screening masif serentak dengan swab rapid test yang sesuai dengan virus Indonesia.
T : Banyak pihak menilai pemerintah terlambat merespons Covid-19. Pemerintah dinilai meremehkan. Anda setuju itu?
J : Saya tidak mau menjawab.
T : Seperti negara lain, Indonesia juga berjuang menemukan vaksin untuk Covid-19. Anda yakin kita bisa melakukan itu?
J : Menurut saya, tidak perlu vaksin dalam waktu sekarang ini.
T : Menurut Anda, apakah kerja sama internasional untuk menangani pandemi Covid-19 sudah cukup baik?
J : Saya tidak melihat kerja sama internasional yang menonjol untuk meringankan beban negara kita dalam menghadapi Covid-19.(***)
sumber : https://www.alinea.id/nasional/dari-balik-jeruji-siti-fadilah-saya-hanya-bisa-menangis-b1ZLt9tq4