Nanda Wirawan, Merevitalisasi Songket Minangkabau yang Punah Ratusan Tahun Lalu
Oleh YURNALDI Wartawan Utama
Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang. Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, Rabu (30/11) pagi begitu sejuk. Berada di kaki Gunung Marapi, di sebuah Rumah Gadang tua, terdengar bunyi “berketuntang” dari alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu.
Seorang perempuan, tampak serius memasukkan benang untuk membuat motif songket. Dari 30 cm pertama, songket yang tengah dibuat itu tampak unik, halus, dan karya budaya bangsa yang motifnya bermakna filosofis.
Perempuan yang tengah tekun membuat songket itu adalah Nanda Wirawan (40). Direktur Studio Wastra Pinankabu. Ia turun langsung karena kondisi ekonomi yang sulit pascapandemi Covid-19, menyebabkan hanya seorang karyawan yang bertahan.
“Hari ini penenun Nola Novalinda (38) berhalangan datang,” katanya.
Nanda Wirawan, mungkin satu-satunya perempuan Indonesia yang sejak 10 tahun lalu sampai sekarang peduli sangat dengan keberadaan budaya Indonesia, khususnya songket Minangkabau, yang sudah punah sejak ratusan tahun lalu. Di tangan Nanda, songket Minangkabau yang sudah punah itu, bisa direvitalisasi. Diproduksi kembali dengan tetap mempertahankan karakter warna, bahan, dan motif yang sama.
“Revitalisasi diawali dari penelitian, membaca buku perihal songket, mengunjungi sejumlah museum dan tokoh-tokoh tua yang mewarisi songket dari neneknya. Ternyata, songket Minangkabau lama yang kita temukan, sudah sejak ratusan tahun lalu tak pernah diproduksi lagi, walau aktivitas menenun masih ada pada sebagian kecil masyarakat pada dua-tiga daerah. Dalam buku-buku budaya, juga tak ditemukan sejarah dan foto-foto songket lama Minangkabau tersebut,” jelas Nanda.
Menurut Nanda, dalam penelitian dan penulisan sejarah serta memproduksi kembali songket langka/sudah punah yang dia temukan, juga melibatkan suaminya Iswandi Bagindo Parpatih (46).
”Dari informasi yang sangat terbatas itu, dilakukan penulisan buku songket dan songketnya diproduksi kembali. Satu helai kain songket Minangkabau membutuhkan waktu hingga enam bulan. Bahkan ada yang sampai setahun saking rumitnya. Juga karena susah mendapatkan bahan,” ungkap Nanda.
Nanda bercerita, bahwa semua songket Minangkabau yang direvitalisasi menggunakan pewarna alami dan juga dari bahan berkualitas tinggi. Seperti benang emas dari logam mulia perak berlapis emas, atau jamak dikenal sebagai benang emas, yang didatangkan langsung dari sentra tenun Jepang tertua di Kyoto. Bisa didapatkan karena “banyak akal”, menggunakan orang Jepang dan kemudian mengirimkannya Studio Wastra Pinankabu, Indonesia. Kadang butuh waktu enam bulan untuk itu. Harganya bisa 20 kali lipat dari benang emas pada songket kebanyakan.
Karena itu, harga yang layak untuk songket langka dan sudah punah yang diproduksi kembali bisa Rp7,5 juta hingga Rp25 juta untuk sehelai kain songket. Kebanyakan orang menilai itu mahal. Padahal kalau mengetahui prosesnya, sejarahnya, tingkat kerumitannya, pasti memaklumi.
Salah satu kerumitan itu, seperti pembuatan satu motif yang biasanya hanya dibuat dengan 40 benang tenun, maka revitalisasi tetap mempertahankan motif yang kadang sampai 250 benang. Proses keseluruhannya itu tidak hanya tenun, ada sembilan tahapan, mulai dari memasak benang, ekstraksi bahan pewarnaan, mencelup, menggulung benang sampai tahap finishing. Ini satu kain bisa memakan waktu sampai 6 bulan. Untuk bahan baku sendiri, Nanda menjelaskan lebih banyak menggunakan serat alam, mulai dari sutera, katun, rami dan wol.
“Hanya kolektor yang paham kualitas, keunikan, dan kehalusan Songket Minangkabau yang mau mengoleksi. Selama 10 tahun berkarya, hanya dua orang Indonesia yang sudah mengoleksi karya budaya adiluhung Songket Minangkabau ini. Selebihnya dikoleksi sejumlah museum di Amerika Serikat, Jepang, Serbia, dan Permaisuri Malaysia,” ungkap Nanda, yang telah mendapatkan penghargaan internasional Seal of Excellence dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) dalam kategori Award of Exellence for Handycraf di Malaysia pada Desember 2012.
Karena tinggi tingkat kerumitannya, dari semula lima orang penenun yang dilatih dan mampu menyelesaikan pembuatan songket Minangkabau yang sudah langka dan punah itu, dari tahun ke tahun menyusut menjadi empat orang, lalu tinggal tiga orang, dua orang. Dan kini tinggal satu pekerja yang betah dan bangga bisa menghasilkan kain songket lama, yang sebenarnya tak ternilai harganya.
Manuskrip Filosofi Orang Minangkabau
Nanda yang 20 Agustus 2022 lalu jadi pembicara utama webinar Songket Minang dan Palembang: Keindahan yang Berbeda, yang digelar Museum Tekstil Jakarta, lebih jauh menjelaskan, songket Minangkabau lebih merupakan manuskrip filosofi orang Minangkabau dahulu. Hal inilah yang menjadi visi utama Nanda Wirawan membangun Studio Wastra Pinankabu.
Yang menarik tentang songket Minangkabau ini adalah seperti gambaran Indonesia mini. Di mana setiap daerah/nagari di Sumatera Barat, dalam memproduksi songket khas daerahnya memiliki teknik yang berbeda, ragam motif yang berbeda, dan juga bahan yang berbeda.
Contoh, songket asal Muarolabuh Kabupaten Solok Selatan, sangat kuat pengaruh budaya Protomelayu. Warna-warga dalam songket sangat kuat pengaruh budaya Dongson, Kamboja, dan Thailand.
Pada songket Koto Gadang bertabur motif kaluak paku. Sedangkan songket Canduang, hanya menggunakan dua warna dasar, yakni hitam dan merah darah. Motif salapak, ada kemiripan dengan motif yang berkembang di Songkhla, Thailand Selatan.
Sementara songket asal Padang Magek, Batipuah, dan Pariangan dominan motif garis dengan beragam makna dan karakter.
“Kini sudah ada 11 helai seri songket yang sudah selesai dan mudah-mudahan ada kolektor yang berminat mengoleksinya. Untuk bisa terus berproduksi, melestarikan songket lama di era pemajuan kebudayaan sekarang ini, saya sangat mengharapkan support dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Bergerak sendiri, tanpa bantuan, ada masa lelahnya. Sewa tanah Studio sudah habis 10 tahun, dan kini diperpanjang 2 tahun lagi. Jika tak ada bantuan dari pemerintah, mungkin setelah itu Studio Wastra Pinankabu yang merevitalisasi songket satu-satunya di Indonesia, akan tamat riwayatnya,” ujar Nanda dengan ekspresi sedih.
Padahal, menurut penelitian seorang peneliti asal Swiss, Bernhard Bert, yang pernah bekerjasama dengan Studio Songket Erika Rianti di Bukittinggi dan melakukan penelitian selama 10 tahun di sejumlah negara dan kota-kota penghasil songket di Indonesia, songket Minangkabau merupakan yang terhalus dan sangat kaya dengan motif-motif bermakna simbolik dan filosofis.
“Kalau kita cermati produk-produk budaya Minangkabau yang dihasilkan sekitar 100 tahun lalu, seperti hasil kerajinan songket, memang memperlihatkan Minangkabau memiliki kualitas songket yang sangat membanggakan. Minangkabau pernah mencapai suatu fase perkembangan yang mampu menciptakan karya budaya yang kualitasnya melewati zaman penciptaannya,” katanya.
Kain songket lama yang punah dan kini diproduksi kembali oleh Nanda Wirawan, di dalamnya terdapat sejarah kebudayaan dan kehidupan masyarakat Minangkabau yang begitu menarik. Melalui motifnya yang begitu beragam, terdapat makna dan pesan-pesan adat Minangkabau yang bersumber dari alam takambang (terkembang) jadi guru. Motif-motif tersebut tergambar dengan kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh penenun masa kini.
“Songket lama yang direvitalisasi untuk diproduksi kembali, cenderung berorientasi pada kesadaran nilai dan ekspresi budaya Minangkabau. Karena di dalamnya ada simbol dari kebudayaan Minangkabau. Sementara pada songket baru, meskipun kesadaran terhadap nilai dan hubungannya dengan simbol serta identitas budaya Minangkabau itu masih ada, secara kualitras tidak lagi bisa dicapai seperti yang yang ada dalam songket lama Minangkabau,” ujar Nanda memaparkan.
Budayawan Edy Utama mengatakan, songket Minangkabau merupakan songket yang paling halus di dunia, serta memiliki motif-motif yang unik dan cerdas. Di dalam setiap motif mengandung nilai-nilai ajaran adat Minangkabau. Maknanya simbolik, tersirat dan punya makna tersurat, bahkan makna tersuruk (tersembunyi).
Contoh, motif bungo antimun. Simbol yang diambil dari tamanan mentimun (Cucumis sativus) bukan saja dari manfaat ataupun dari bentuk fisiknya. Melainkan dari cara tumbuhnya yang menjalar atau merambat. Ketika menjalar, tanaman ini selalu menanamkan akar dari tiap ruanya dan melekatkan akar tersebut pada kayu penopang.
Kata-kata adat mengungkapkan: Bak mantimun marantang tali (Ibarat mentimun merentang tali). Makna tersurat, yakni mentimun bergerak merambat dengan perhitungan yang matang. Setahap demi setahap ia tanamkan akarnya pada tempat tumbuhnya, ruas demi ruas untuk terus bertumbuh.
Makna tersirat dari sifat ini, yaitu adanya perhitungan yang matang dalam melaksanakan rencana dan menyelesaikan masalah dengan langkah yang sistematis dan mengakar. Dalam kerangka berpikir teoritis demikian pula. Gagasan yang diajukan haruslah mempunyai argumentasi yang jelas dengan dalil yang kuat.
“Motif bungo antimun menggambarkan ekspresi jiwa dan pikiran seseorang yang berkembang secara wajar dan bebas, tetapi tetap terikat pada nilai-nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat. Bebas tetapi bertanggung jawab,” jelas Edy Utama.
Nanda Wirawan, yang pernah memperoleh Paga Award, penghargaan Pemuda Pelopor versi Leon Agusta Institute (sekarang Leon Agusta Indonesia) menegaskan, sejauh ini aktivitas revitalisasi songket lama, langka, dan sudah punah ini sejak 2013 belum bisa menghidupi keluarganya. Apalagi menghidupi Studio Wastra Pinankabu. Namun, karena ingin mewariskan dan melestarikan karya adiluhung berupa songket Minangkabau, yang merupakan songket terhalus di dunia, semampunya ia akan tetap bertahan agar bisa menginspirasi perempuan penggiat budaya di provinsi lain.
“Jika pemerintah ingin mempekerjakan saya sebagai konsultan, saya siap. Pemajuan kebudayaan harus terus ditumbuhkembangkan dan dilestarikan,”katanya. ***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.