Catatan : Pinto Janir (sastrawan/budayawan)
majalah intrust – Faldo adalah ontologi politik dari kemurahan hati Febby Datuk Bangso. Munculnya pasangan Faldo dan Febby Datuk Bangso di panggung bakal calon gubernur Sumatera Barat adalah hakikat yang tak terbantahkan.
Tiba-tiba jagad politik Minangkabau baroyak baitu namo Faldo dan Febby melambung di angkasa pikiran orang banyak. Terlepas dari sambutan positif dan negatif, popularitas dua pasangan ini seperti air bah yang tak tertahankan. Nama Faldo dan Febby menjalar bagai naga dan menggurita di hati serta di ruang pangana.
Melafaskan nama Faldo, hampir saya patah hati. Saya benar-benar tak sudi terjebak pada Fallacy politik. Saya tak ingin berpikir “ngawur” apalagi absurd. Bagi saya, kebenaran adalah ketika ia setia pada realita.
Realitanya, Faldo dan Febby bertemu di sebuah jalan pikiran.
Tapi saya berpikir, apakah logis Faldo menjadi orang nomor satu dan Febby menjadi orang nomor dua untuk berpasangan bersama. Apakah ini logis dan realis ketika Faldo yang ketua PSI Sumbar tak memiliki kursi di DPRD propinsi daerah kita ini pantas dan patut menjadi bakal calon gubernur Sumbar? Sementara, bagi saya; kalau mereka berpasangan jua, yang Febby Datuk Bangso-nya nomor satu dan Faldonyo mendampingi Febby. Mengapa begitu, Febby Datuk Bangso yang ketua PKB Sumbar, berfakta memiliki 3 kursi DPRD propinsi.
Mengapa ini bisa terjadi?
Lagi pula, sebagai insan yang suka mengamati perkembangan politik lokal Sumatera Barat, saya agak terhenyak sendiri. Ba-a kok baitu? Ketika Faldo, juru bicara nasional Prabowo-Sandi berpindah partai dari PAN ke PSI, ia seakan menjadi bulan-bulanan publik ranah bundo ini. Kekecewaan publik seakan meninggalkan jejak luka tersendiri.
Tapi, bagi saya, berpindah partainya seseorang bukanlah sebuah dosa politik. Buruk disebut, ingat beberapa nama tenar di Sumbar dan berkuasa, pernah melakukan “ritual” pindah partai politik. Berpindah ruang itu tak ada salahnya; karena kebenaran berpihak pada realita. Manusia cendrung memilih ruang yang dirasanya lebih lapang, lebih nyaman, lebih serasi, lebih harmonis untuk ia tempati. Kalau kita katakan bahwa pindah partai adalah “dosa politik” maka bagi saya itu adalah sebuah fallacy politik.
Bagi saya, fenomena pindah partai bukanlah sebuah masalah. Perpindahan itu karena “kecerdasan personal”.
Walaupun bagi saya secara personal , pindah partai adalah hal biasa, namun agaknya tak begitu dengan pendapat publik. Sebagian masih menganggap, ini adalah kekeliruan berpikir.
Karena itu pula, nama Faldo di Sumbar tak lagi “semulia” sewaktu ia membela Prabowo –Sandi ketika Faldo menjadi juru bicara dan sering berada di layar kaca televisi nasional kita.
Pelan-pelan, lampu Faldo mulai meredup.
Beberapa waktu lalu, Faldo berkehendak maju menjadi bakal calon Gubernur, lagi-lagi ia terpalang soal usia. Syarat jadi Gubernur, minimal berusia 30 tahun. Faldo menggugat ke MA. Namun ia kalah. Sudah itu, nama Faldo dicoba diapungkan untuk maju menjadi bakal calon Bupati Pesisir Selatan; tapi tampaknya jalan itu pun bagai menemui kebuntuan karena partai politik yang mendukungnya apa?
Nama Faldo bagai tenggelam kembali. Harapannya bentuk-bentuk agak-agak sekarat.
Sejak setengah tahun yang silam, dunia diterkam wabah. Virus Corona membuat dunia retek. Virus yang menimbulkan penyakit covid-19 ini juga merambah ke Indonesia. Hingga akhirnya, Pemerintah memutuskan mengundur jadual Pilkada serentak.
Cukup sudah umur Faldo 30 tahun. Cukup sudah salah satu syarat untuk jadi calon Gubernur. Umur sudah cukup, pikiran sudah cukup.
Maka pada saat itu, Febby Datuk Bangso muncul. Muncul ke haribaan Faldo. Ia bagai membawa suluh di tangan. Nama Faldo yang semula mulai redup, bercahaya ketika “suluh” itu dihadapkan Febby Datuk bangso kepada Faldo.
Febby menantang Faldo untuk maju sebagai bakal calon gubernur Sumatera Barat. Febby meniupkan sugesti dan semangat. Sebagai orang muda, semangat tak boleh lenyap.
Tapi, bukankah ; Faldo tak punya partai berkursi. Yang punya partai berkursi itu Febby Datuk Bangso dengan 3 kursi PKB; sebagai alasan awal untuk maju.
Febby meyakinkan Faldo, bahkan ia bermurah hati untuk mendamping Faldo sebagai balon wagub. Dengan cepat, kesepakatan berpasangan ini melesat ligat. Deklarasi dikabarkan dan merasuk ke berbagai pelosok nagari.
Saya bertanya pada Febby.Bahkan pertanyaan yang sama ini juga bermunculan dari berbagai pengamat politik dan para tokoh Sumbar. Faldo Febby? Mengapa bukan Febby-Faldo?
“ Kita harus memberikan dan menciptakan jalan lapang bagi anak-anak muda untuk maju. Semangat kebangsaan adalah spirit yang memberi jalan dan jawaban bagi para muda Indonesia untuk lebih hebat dan lebih maju. Saya rila mendampingi Faldo demi kebangkitan anak muda Minangkabau di ranah bundo”, kata Febby Datuk Bangso yang banyak dipuji publik karena ia membawa nilai-nilai “legowo” di panggung politik kita.
Febby tampaknya meneladani karakter Cak Imin (Muhaimin Iskandar) Ketua Umum DPP PKB yang selalu “legowo” di ranah politik dan senantiasa memberikan jalan lapang bagi anak muda untuk berkarya dan berprestasi mengharumkan nama nusa, bangsa dan negara.
Jadi sekarang bagaimana?
Dalam hidup tak ada yang tak mungkin. Dalam politik, apa lagi. Segala sesuatu adalah barisan kemungkinan yang akan merealita.
Faldo Febby itu kuda hitam. Tak diunggulkan, tapi menjelang garis finish ia akan membuat “penonton” melakukan gerakan standing applause.
Kini, pasangan anak muda dan ninik mamak ini menjadi topik politik di tengah publik Sumatera Barat.
Faldo-Febby, adalah ontologi politik dalam nyanyian kesetiaan untuk orang banyak. Faldo Febby adalah koor kebahagiaan dalam pikiran yang jernih dan hati yang bersih.
Kalau bisa, mari kita belajar bermurah hati; seperti apa yang dilakukan oleh Febby Datuk Bangso pada Faldo. Dalam bermurah hati, tertanam nilai-nilai kebangsaan yang mulia sekali. Negeri ini harus mampu berdamai dengan diri sendiri dalam jalan berkerilaan, bukan berkeegoisan!
Nan tuo mambari jalan ka nan mudo…
Mari kita simak mereka !
(***)