majalahintrust- Bumi Minangkabau seakan ditakdirkan serbagai perut yang melahirkan insan ulung berpikir cerdas. Bumi Minangkabau, keindahan alamnya bagai sepotong surga terlempar ke bumi, pikiran cerdas anak nagarinya bagai melebihi keindahan taman bunga di atas dunia.
Berdirinya Negara Kesatuan Republiik Indonesia yang sangat kita cintai ini, mana bisa dilepaskan dari pikiran kemajuan anak-anak muda Minangkabau masa itu.
Nagari ini adalah nagari para tokoh yang lahir dari orang-orang takah. Nagari ini nagari hebat di tempat mana insan-insan hebat lahir dan hadir “mengubah wajah dunia”.
Kalau orang bertanya, hidup itu apa? Jawablah. Hidup itu: kini!
Kini itu bagaimana? Jawablah; kini itu ada karena masa lalu. Kini itu hidup karena masa depan. Masa depan adalah harapan. Harapan itu sumangaik baru.
Orang bijak menata masa depan, orang arif menimang masa lalu. Bukankah tak a da “kini” tanpa masa lalu? Tiap masa adalah simpul, tiap simpul adalah jembatan. Tiap jembatan adalah penghantar.
Faldo adalah penghantar Minangkabau bermasa depan.
Mari kita memutar waktu ke belakang dengan menghitung-hitung nama-nama anak muda Minangkabau yang membuat semangat kita bangkit dalam gelora yang tak terpudurkan.
Sebulum menyebut beberapa nama ini, jernihkan pikiran sejernih-jernihnya, bersihkan hati sebersih-bersihnya biar naq lapang jalan ke muka senang di rasa sejuk kira-kira.
Minangkabau bumi yang melahirkan ulama besar Ahmad Khatib Alminangkabawi, Bung Hatta,Muhammad Yamin, Syahrir, Natsir, Adinegoro, H Agus Salim, Tan Malaka.
Bung Hatta sudah memulai karir politik di usia 16 tahun. Ia salah seorang Bapak Proklamator kita. Bung Hatta penyusun konsep ekonomi kerakyatan Indonesia. Tan Malaka yang memulai berpolitik di usia yang sangat muda adalah sosok hebat orang Minang. Tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda, Tan Malaka sudah menulis buku “ Naar de Republiek Indonesia” yang menjadi inspirasi menuju kemerdekaan Indonesia.
M Yamin, anak muda Minangkabau yang salah satu pengusul soal dasar negara pada tahun 1945.
Agus Salim diplomat yang bertarung secara diplomatic dalam usaha pengakuan dunia international atas kemerdekaan RI.
Sementara Sjahrir bertarung di meja perundingan saat Belanda dan sekutunya masih ingin berkuasa di Indonesia lewat agresi-agresinya.
M Natsir mengembalikan NKRI mosi intergarlnya selepas Indonesia terpecah belah dalam negara RIS pasca perjanjian Linggarjati.
Bila sekiranya tak ada PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Barat, maka Belanda menganggap Indonesia sudah tak ada. Maka baik anak bangsanya maupun buminya adalah penyelamat Indonesia.
Semua tokoh-tokoh Minangkabau yang hebat-hebat itu, rata-rata sudah memulai perjuangan dan berkarir di usia yang sangat muda. Bukan memulainya di usia di atas 50 tahun, apalagi 70 tahun.
Mari kita bicara tentang sosok Gamawan Fauzi. Gamawan Fauzi dicatat sejarah sebagai bupati paling muda. Ia menjadi bupati di usia 37 tahun. Usia mana yang pada masa itu dianggap masih sangat muda; soalnya rata-rata yang menjabat bupati terlazim zaman itu ya di atas-atas 50-an. Usia di bawah 40-an, masa itu mungkin masih dianggap sebagai usia canggung dan sangat belia.
Ketika Gamawan Fauzi jadi Bupati Solok di usia di bawah 40 tahun, orang tak mampu lagi mempertanyakan “pengalaman memimpinnya” karena ia menjawabnya dengan pikiran yang berprogram rancak. Seakan “anak muda” ini memikat hati umat masyarakat Sumatera Barat. Dua periode jadi Bupati, dengan lapang ia memenangkan pertarungan pilkada Gubernur Sumbar. Gamawan melanjutkan tradisi “ sudah jadi gubernur” jadi “menteri”. Kita juga berharap, Irwan Prayitno juga hendaknya melanjutkan “tradisi” ini, yakni tradisi sudah jadi gubernur jadi menteri pula.
Gamawan Fauzi adalah pelopor anak muda bangkit di Sumatera Barat. Satu persatu, nama tokoh muda Sumatera Barat mulai mengapung di pentas nasional dan kepemimpinan kita. Misalnya, Ade Rezki Pratama mencetak sejarah baru di dunia parlemen kita. Ade, tercatat sebagai anggota DPR RI termuda. Lalu, ada Yuliandre Darwis, anak muda Minangkabau yang jadi Ketua KPI Pusat. Kemudian muncul bupati termuda dari Dharmasraya dan walikota muda dari Padangpanjang.
Faldo Maldini di ruang terkini seakan menjujut dan melambung tinggi di pelataran tokoh-tokoh nasional. Anak muda mantan siswa SMA 3 Padang ini, meraih gelar pendidikan tingginya di Inggris dan berkibar-kibar dalam spirit “diplomasi” ketika gigih bertarung pikiran sebagai juru bicara nasional Prabowo-Sandi.
Kini alam bagai menggunggung Faldo dan Febby di sayap-sayap pikiran yang gagah di angkasa Minangkabau berlangit cerah berbumi hijau dalam semangat kebangsaan di bumiku MInangkabau langitku Indonesia.
Pada ketikan aksara sebelum diksi menjadi puisi, Faldo terpalang usia di ruang aturan yang ada. Usianya beberapa bulan yang lalu, belum genap 30 tahun. Untuk maju menjadi gubernur, minimal berusia 30 tahun. Faldo tak menyerah. Ia “menggugat” MA soal usia dan aturan dalam ikhtiar dan kesungguhan hati di kamar kecerdasan beralas doa pada Tuhan.
Dalam aturan Faldo terpalang memang untuk maju!
Apakah itu selesai? Tidak, ia tetap berdoa dalam niat suci dan pikiran kebajikan untuk umat dan nagari.
Taka da sesuatu yang datang secara mendadak. Peristiwa selalu diawali dengan tanda. Orang bijak membaca data, orang arif menyimak tanda.
Kalau bumi lah “manarimo” maka dunia adalah papan catur kemungkinan. Mewujudkan kemungkinan menjadi kenyataan adalah soal ikhtiar dan doa, bukan soal penelitian di atas kertas. Betapa banyaknya para kandidat yang diunggulkan oleh survey menang di Pilkada namun terjungkang di kenyataan.
Contoh paling terngiang, ketika Foke bertarung dengan Jokowi di Pilkada DKI. Foke diunggulkan tim survey, Jokowi dimenangkan kenyataan. Itu baru hanya satu contoh, berserakan contoh-contoh lain di dunia pilkada kita yang semula diunggulkan oleh survey namun kalah dalam fakta.
Kuat di hitungan numerik, lapuk di hitungan nyata adalah sepantun dengan penglihatan optic mata karena terlalu percaya dengan data yang tersodor lalu tak meyakini kekuatan ikhtiar dan doa yang dapat mengubah takdir!
Kemudian, Pilkada serentak diundur karena wabah corona. Usia Faldo pun genap 30 tahun. Seperti ada yang dinanti di lawik sati rantau batuah. Alam seakan ikut bernyanyi. Badai seakan reda mengisai. Bumi seakan tenang menikmati. Sunyi menjadi kajian di hati. Gerakan menjadi pikiran di ruang pangana.
Akal menjadi guru sejati. Maka nama Faldo dan Febby tak terhentikan. Tak terpalangi. Tak terhambat oleh usia. Faldo dihantarkan ke ruang 30 tahun untuk memimpin Sumatera Barat dalam sumangaik baru!
Faldo kini adalah Faldo yang cukup di usia, masak di pangana ! (*)