Oleh : Indra Sakti Nauli
Wartawan Senior Padang, Sumatera Barat
Padang – Di antara kawan seangkatan jadi jurnalis, kami memanggilnya Udo. Nama lengkapnya Syarbaini. Di pertengahan tahun 1980an, Udo memulai karir sebagai jurnalis RRI Padang. Konsentrasinya berita-berita olah raga. Kemudian juga masuk ke berita-berita umum.
Di Poskan di Balai Kota Padang, kantor Balai Kota di Pasar Raya, karena sapaan Udo sudah melekat, untuk legalisasi laporan jurnalistiknya, Udo menutup voice liputannya dengan tambahan nama julukan… “Syarbaini Udo melaporkan…”
Saya sudah lama tidak bertemu Udo. Pertemuan terakhir, sebelum pensiun di staf Humas DPRD Padang. Sekitar 5 tahun lalu.
“Ba a Udo kini ko..” tanya saya.
“Ambo kanai stroke, in..”
“Iyo, jago2 lah kesehatan. Kan lai therapy..” ujar saya. Udo mengangguk.
Sejak itu saya tak lagi bertemu Udo. Kabarnya, setelah pensiun, strokenya makin parah.
Pada suatu kali saya mampir ke Redaksi Tabloid Sumbar Post, Almadi Rial Supargo dan Pipit Nursya Fitri mengenalkan seorang anak muda yang baru belajar jadi wartawan.
“Iko anak Udo mak in” kata Almadi.
Saya kaget…
“Taraso gaek awak, Almadi. Ko yang ketek2 acok dibaok-baok Udo nonton bola yo. Sia namo,”
“Ridho, Pak..” jawabnya.
Waktu itu Ridho Syarlinto masih kuliah di Unand. Kini sudah sarjana dan tetap jadi jurnalis.
Kamis malam selepas Isya, saya membaca status FB Ridho mengabarkan papanya meninggal dunia sekitar jam 20.15, di kediaman Komplek Taruko I Blok Q/4 Kuranji, dalam usia 61 tahun.
Inna Lillahi wa inna illaihi rajiun.
Setiap ada orang dekat meninggal, saya selalu membayangkan masa2 bersama di lapangan.
Udo orangnya suka humor. Badan gemuk. Makannya berselera. Dulu, kami sering makan pagi menjelang siang di ampera Taman depan Balai Kota. Spesifiknya pangek masin. Atau ke ampera Beringin di depan Lapangan Imam Bonjol. Spesifiknya rendang.
Saking gemuknya, terkadang baju biru seragam RRI yang dikenakan tidak rapi masuk dibalik celana panjang birunya.
“Gorden ndak luruih, Udo. Masuak angin beko,” ledek saya.
Udo ketawa. Rokok jisamsu yang dihisap melekat di mulut. Udo lalu merapikan bajunya.
Kali lain, Udo pula meledek saya.
“Rumpuik paga lah manjala, in (rumput pagar sudah menjalar), ” kata Udo melihat bagian belakang rambut saya sudah sampai ke krah baju.
Satu teman yang juga sering dikelakari adalah Uda Suhasril Sahir, yang juga telah berpulang pertengahan puasa lalu. Juga uda Indra Merdi, yang berpulang minggu lalu.
Menariknya, walau kelakarnya sudah garah kudo, Udo tetap humble. Tak emosi.
Saya terkejut juga tiba2 Udo pindah menjadi ASN di Pemko Padang. Pdhal dulu termasuk reporter andalan di RRI Padang. Pernah pula berjabatan di bagian pemberitaan RRI Kepulauan Nias semasa musim2 gempa Nias tahun 2000an.
Selamat menemui sang Khalik Udo. Semoga sakit yang melekat di badan, menggugurkan dosa2 Udo. Mungkin ada kelakar kita yang menyayat perasaan. Saya sudah memaafkan.
Semoga Allah menempatkan Udo di surgaNya.
Kepada keluarga, semoga tabah dan tawakal dengan kedukaan ini.(***)