Ir Reri L Tanjung MM
Pemimpin Umum
Jalan merupakan salah satu infrastruktur yang penting bagi perekonomian nasional. Selain untuk jalur transportasi masyarakat, jalan juga merupakan infrastruktur yang sangat vital untuk mendukung pengiriman barang antar daerah (logistik). Dalam artian, jalan berperan sebagai salah satu klahar dalam satu komponen bergeraknya roda perekonomian.
Tanpa didukung oleh infrastruktur jalan yang representatif, fatal akibatnya bagi masyarakat suatu daerah. Efek nyata tentu terjadi inflasi bagi daerah tersebut. Belum lagi dampak negatif lainnya yang dirasakan oleh masyarakat.
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2021, panjang ruas jalan nasional di seluruh Indonesia yang dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tercatat sepanjang 47.071 km.
Berdasarkan data Kementerian PUPR yang direlis pada Agustus 2022 lampau, 91,81% jalan di Indonesia telah dalam kondisi mantap. Capaian kemantapan jalan nasional itu lebih baik dibandingkan pada 2020 yang hanya sebesar 91,27%.
Hanya saja, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR cukup kewalahan menjaga jalan nasional agar tetap dalam kondisi mantap diatas 90 persen tersebut. Pasalnya kapasitas jalan umum nasional sudah ditetapkan hanya dapat menahan beban maksimal di angka 8 ton—10 ton, malah dilewati truk dengan beban sampai 35 ton.
Akibatnya ketahanan jalan nasional yang sudah dibenahi oleh Balai Besar / Balai Pelaksanaan Jalan Nasional yang notabene unit organisasi dibawah Ditjen Bina Marga berumur pendek. Wajar saja Dirjen Bina Marga Hedy Rahadian saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada 24 Januari 2023 lalu merasa keberatan, disuruh memperbaiki jalan nasional yang rusak, karena dilewati truk melebihi tonase, seperti di Provinsi Jambi.
Jika disimak lebih jauh, sebenarnya pengangkutan tonase berlebih tersebut diakibatkan oleh banyaknya pungutan liar (pungli) yang diduga dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab. Sehingga dengan terpaksa, pengusaha angkutan mengakalinya dengan membawa angkutan berlebih, agar tidak rugi dalam pengangkutan barang.
Masalah ini pun menjadi sengkarut yang susah untuk menyelesaikannya, karena lintas oknum yang terlibat dari bawah sampai keatas yang bertindak sebagai pembeking, melakukan pembenaran dengan dalih mereka masing-masing, agar perilaku semacam ini dibiarkan jalan terus. Penulis memakai istilah oknum-oknum dalam tulisan ini, karena sudah menjadi rahasia umum siapa saja yang terlibat dalam tindakan pungli itu.
Jika boleh berjujur – jujur, dibutuhkan sebuah tindakan revolusioner dengan penegakan hukum yang komprehensif, guna menertibkan oknum-oknum tersebut. Dalam kacamata penulis, belum ada tindakan kongkrit dan berkesinambungan aparat penegak hukum dalam melakukan penertiban pungli ini, sehingga penyakit ini tak kunjung diberantas sampai ke akar akarnya.
Perlu tindakan revolusioner yang bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum, bisa dilakukan secara persuasif maupun preventif. Sangat perlu juga melakukan tindakan punishment jika memang oknum yang terlibat melanggar aturan yang berlaku, demi adanya efek jera.
Akan tetapi juga, apapun yang dilakukan oleh aparat penegak hukum akan terasa sia-sia, tanpa adanya kesadaran diri masing-masing daripada oknum yang terlibat. (***)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.