Oleh Reri L Tanjung
Pimpinan Umum Majalah Intrust
Pembangunan Infrastruktur Indonesia sedang bergairah, menyongsong peningkatan kualitas kehidupan demi kemajuan bangsa. Masifnya pembangunan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hendaknya juga dibarengi dengan kualitas yang mumpuni.
Guna menjaga kualitas infrastruktur yang telah dilaksanakan sekaligus membenahi iklim jasa kontruksi, Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR bersama DPR RI telah banyak melakukan langkah-langkah kongkrit
Seperti mengamandemen Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999 yang sudah berlaku kurang lebih selama 17 tahun, dengan Undang-Undang Jasa Kontruksi No 2 tahun 2017.
UU Jasa Konstruksi No 12 Tahun 2017 yang baru disahkan ini terdiri dari 14 Bab dan 106 pasal telah melalui harmonisasi dengan peraturan sektor lain, seperti UU Nomor 11/2014 tentang Keinsinyuran, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 23/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan terkait lainnya.
Namun demikian, juga diperlukan sistem penilaian kinerja kepada penyedia jasa kontruksi, untuk memperkuat UU Jasa Kontruksi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi kinerja penyedia jasa kontruksi setiap tahunnya, sekaligus sebagai bahan rujukan bagi penyelenggara jasa kontruksi.
Tujuan lainnya adalah semakin terjaganya kualitas pembangunan infrastruktur, dengan membuat klasifikasi sistem penilaian kepada penyedia jasa kontruksi, agar mendisiplinkan kontraktor abal-abal atau kontraktor mbalelo.
Ibarat siswa maupun mahasiswa yang setiap tahunnya mempunyai rapor evaluasi atas prestasi pendidikannya, rekanan juga perlu dibuatkan hal serupa. Supaya penyelenggara jasa kontruksi seperti Unit Layanan Pengadaan (ULP), Satuan kerja (Satker), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), memiliki patokan atas pekerjaan yang mereka lakukan.
Selama ini, mereka hanya berpatokan pada dokumen blacklist saja , guna melihat kinerja rekanan jasa kontruksi. Jika tak masuk daftar Blacklist, penyedia jasa kontruksi boleh ikut tender,meskipun performa mereka dalam melakukan pekerjaan di tahun-tahun sebelumnya tak menggembirakan.
Disatu sisi, patokan dari daftar Blacklist tersebut bagus dan memiliki manfaat yang besar. Namun di sisi lain terasa masih kurang relevan atas kebutuhan. Sebab kinerja rekanan jasa kontruksi ada juga yang mengalami pasang surut, dengan melihat situasional dan kondisional dilapangan.
Ada beberapa keluhan dari penyelenggara lelang terkait tidak adanya rujukan kinerja rekanan jasa kontruksi pertahunnya. Mereka hanya bisa meraba-raba kinerja dari peserta lelang, apakah memiliki track record tergolong bad performance atau good perfomance.
Syukur-syukur rekanan bisa mengerjakan pekerjaan dengan baik sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan. Jika tidak, otomatis penyelenggara jasa kontruksi menjadi repot membina penyedia jasa kontruksi yang demikian. Tak jarang juga, mereka berurusan dengan penegak hukum.
Penyelenggara jasa kontruksi pada dasarnya tentu menginginkan penyedia jasa kontruksi yang siap tempur di semua medan dalam menjalankan pekerjaan, demi hadirnya infrastruktur yang berkualitas dan masa umur pakai yang lama. Masyarakat juga tentu tak ingin memanfaatkan kontruksi yang baru dibangun, memiliki usia pakai yang pendek.
Setidaknya dengan rapor evaluasi terhadap penyedia jasa kontruksi, membantu menambah kualitas pekerjaan infrastruktur yang dibangun, agar infrastruktur yang dibangun dengan dana yang tidak sedikit, menjadi tidak sia-sia.(*)