Oleh : Ir Reri L Tanjung MM
Pimpinan Umum Majalah Intrust
Tindakan strategis yang dilakukan Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera V Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, yang berencana membangun bendungan berskala besar di Nagari Gunung Malintang, Kecamatan Pangkalan Kabupaten 50 Kota merupakan langkah tepat. Hal ini bertujuan guna mengatasi solusi banjir yang selalu menaungi wilayah tersebut.
Tak dipungkiri juga, dengan hadirnya bendungan berskala besar ini dapat mengairi puluhan ribu areal lahan pertanian masyarakat, sekaligus menjaga ketahanan air demi tercapainya ketahanan pangan dalam jangka waktu yang lama.
Rencana pembangunan bendungan berkapasitas 22 juta meter kubik yang direncanakan akan dilakukan tahun 2021 diharapkan mampu menampung besarnya debit air pada enam buah sungai berukuran besar di Nagari Gunung Malintang, puluhan sungai di Kecamatan Pangkalan, serta limpahan air waduk PLTA Koto Panjang.
Tahapan studi kelayakan pun sudah dilaksanakan BWS Sumatera V pada awal tahun 2019. Konon kabarnya, gerak cepat sudah dilaksanakan dengan memasuki tahap sosialisasi rencana pembangunan bendungan pada masyarakat sekitar.
Jika bendungan telah selesai diwujudkan, infrastruktur yang dibangun masa Pemerintahan Joko Widodo ini juga sekaligus sebagai sejarah baru bagi Ranah Minang. Mengingat, sejak pemerintahan Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, belum satupun bendungan di daerah semboyan ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ itu berdiri kokoh.
Sebenarnya Sumatera Barat membutuhkan beberapa buah bendungan berskala besar dengan pemanfaatan yang besar pula. Daerah yang diprediksi membutuhkan yakni di Kota Padang, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Tanah Datar.
Pasalnya keseluruhan sungai pada wilayah yang disebutkan itu memiliki debit air yang besar. Namun air yang mengalir dari hulu sampai ke hilir sangat cepat tanpa ada tampungan, sehingga menyebabkan banjir besar di musim hujan. Mirisnya jika musim kemarau tiba, bencana kekeringan pun melanda.
Belum lagi permasalahan pembalakan liar oleh oknum tak bertanggung jawab yang mengakibatkan gundulnya hutan sebagai fungsi penyimpan air, menambah besar masalah ketahanan air di Sumbar. Walaupun tindakan preventif sudah dilaksanakan dengan menanam kembali pohon di pegunungan, hal itu membutuhkan waktu yang sangat lama.
Fungsi bendungan di Sumbar tentu sangat berbeda dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sedang giat-giatnya membangun bendungan berukuran sangat besar dengan dana mencapai triliunan rupiah. Jika di Sumbar fungsi bendungan menampung debit air yang melimpah hingga sebabkan banjir besar, di NTT malah fungsi tujuh bendungan yang sedang dibangun untuk mencegah kekeringan, karena sumber air di daerah tersebut sangat sedikit.
Untuk itulah, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat maupun Pemerintah kabupaten kota yang memerlukan bendungan berskala besar, haruslah pro aktif ‘manjuluak’ ke Pemerintah Pusat, agar bisa terealisasi demi kebutuhan masyarakat. Hal ini dikarenakan dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan infrastruktur berskala besar ini sangat besar.
Sebagai contoh kecil saja, Bendungan Sindangheula di Provinsi Banten yang memiliki kapasitas 1,9 juta meter kubik yang memiliki luas genangan 115 hektar, memakan biaya Rp 458 miliar. Begitupun dengan Bendungan Sidan di Provinsi Bali berkapasitas 3,82 juta meter kubik air, biaya pembangunan memakan anggaran hingga Rp 800 miliar.
Lobi yang dilakukan kepala daerah wajib dilakukan, jika memang mngingingkan hal itu. Mengingat pembangunan bendungan memakan biaya yang berjibun, dan tidak mungkin rasanya memakai dana APBD. (***)