Oleh Ir.Reri L Tanjung MM
Pemimpin Perusahaan Majalah Intrust
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Sektor jasa konstruksi merupakan kegiatan masyarakat mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana aktivitas sosial ekonomi kemasyarakatan guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional.
Jasa Konstruksi diatur dengan UU tersendiri dan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. UU Jasa Konstruksi terbaru saat ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, karena belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi.
UU tentang Jasa Konstruksi tahun 2017 disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 Januari 2017. UU No. 2 tahun 2017 diundangkan oleh Yasonna H. Laoly, Menkumham RI pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11. Dan Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018 pada tanggal 12 Januari 2017 di Jakarta.
UU Jasa Konstruksi No 12 Tahun 2017 terdiri dari 14 Bab dan 106 pasal kata Menkumham Yasonna Laoly telah melalui harmonisasi dengan peraturan sektor lain, seperti UU Nomor 11/2014 tentang Keinsinyuran, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 23/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan terkait lainnya.
Adanya UU Jasa Kontruksi tahun 2017 beserta turunannya semakin membuat rekanan penyedia jasa semakin tertib dalam menjalankan aturan, walaupun ada satu dua rekanan yang masih nekat melanggar aturan dimaksud, yang pastinya bakal berususan dengan penegak hukum.
Namun demikian alangkah baiknya apabila rekanan dalam melaksanakan pekerjaan infrastruktur yang telah diamanahkan, tidak berurusan dengan penegak hukum. Caranya tentu dengan lebih menyempurnakan lagi aturan aturan yang dibuat dalam undang – undang tersebut.
Berdasarkan pengamatan penulis, masih ada kekurangan yang kiranya diusulkan kedepannya untuk ditambahkan. Agar selanjutnya pekerjaan fisik yang dilakukan rekanan penyedia jasa dapat berjalan hingga akhir, tanpa meninggalkan bengkalai, dan menimbulkan kerugian untuk masyarakat.
Usulan tersebut adalah adanya transparansi keuangan perusahaan penyedia jasa kepada pengguna jasa. Transparansi perlu kiranya diterapkan, guna mengetahui cash flow perusahaan dalam menghandel paket pekerjaan infrastruktur yang didapatkan, demi terwujudnya kualitas pembangunan.
Dalam UU Jasa Kontruksi, aturan perihal transparansi keuangan perusahaan rekanan penyedia jasa belum ada. Pengguna jasa kontruksi pun tidak pula bisa memaksakan rekanan untuk transparan. Hal ini mengakibatkan pengguna jasa tidak bisa mengetahui dengan gamblang sejauh mana kekuatan perusahaan untuk menjalankan paket pekerjaan yang sudah menang tender.
Berkaca kepada dua paket pekerjaan pembangunan infrastruktur tahun 2019 di Sumbar, yakni pekerjaan Laboratorium Olahraga Universitas Negeri Padang serta pekerjaan Ruang Rawatan Kelas III RSUD Sijunjung yang dilakukan oleh PT Banguncipta Andalas Mandiri. Rekanan kabur disaat pekerjaan belum selesai dilaksanakan, dengan alasan cash flow perusahaan tidak mampu lagi membiayai pembangunan.
Transparansi keuangan perusahaan rekanan penyedia jasa tentu juga harus selaras dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik,UU nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, serta sejumlah undang-undang lainnya.
Sudah tepat rasanya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membuat klasifikasi paket pekerjaan infrastruktur berdasarkan kekuatan perusahaan. Dimana klasifikasi perusahaan besar lebih Rp 100 miliar, perusahaan sedang Rp 11 miliar – Rp 100 miliar, serta perusahaan kecil dibawah Rp 10 miliar.
Sehingga mencegah perusahaan kecil bermodal cekak mengerjakan paket pekerjaan infrastruktur besar yang mengakibatkan proyek rentan dengan kegagalan bangunan. Atau begitu juga sebaliknya mencegah perusahaan besar dengan modal bejibun mengerjakan paket pekerjaan infrastruktur berskala menengah atau kecil, yang tentunya mematikan rekanan penyedia jasa daerah.
Semoga saja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kedepannya apabila merevisi UU Jasa Kontruksi, juga memasukkan aturan perihal transparansi keuangan perusahaan rekanan penyedia jasa. (***)