Film Onde Mande, Hiburan Bagus untuk Orang Minang
Oleh : Nofrialdi Nofi Sastera (Pengamat Film Icak-icak)
Saya bersama Tek Baya isteri saya adalah termasuk orang yang beruntung mendapat kesempatan menonton pertujukan pertama film Onde Mande di Bioskop CGV Rabu sore (21/6) lalu. Istilah keren kata orang, saya termasuk satu di antara banyak orang yang dapat kesempatan menonton gala premier film ini.
Sisi pertama yang ingin saya ceritakan tentu saja kesempatan bisa menonton berdua ini adalah seperti mengulang masa-masa Kami pacaran dulu. Amboi, di usia yang sudah mendekati kepala enam ini pula, Kami bisa menikmati masa-masa indah seperti dulu lagi. Terimakasih Ya Allah, atas nikmat yang telah Engkau berikan.
Kedua tentu saja soal film Onde Mande yang menurut Kami luar biasa dan perlu untuk ditonton. Maaf, tanpa bermaksud berlebihan – kebetulan kita juga pernah main film – rasanya hampir semua karakter di film itu cukup pas memainkan perannya sebagai orang Minang, dari sebuah nagari bernama Sigiran, di tepian Danau Maninjau. Kenapa begitu, karena hampir 90 persen film itu berbahasa Minang. Itu kelebihan pertama dari film ini. Beda dengan Kami dulu waktu main film di Anak Kaki Gunung, meski berlatar Minang dan setingan film berlokasi di Sianok, dialog Kami justru hampir 99 persen berbahasa Indonesia.
Ketiga, bagi para pencinta pariwisata, view lokasi yang ditunjukkan dalam film ini hampir 85 persen indah dan sangat menawan. Keindahan lokasi sekitar Danau Maninjau begitu indah dan sangat cantiknya terlihat. Bahkan bagi kita yang orang Minang sendiri – termasuk bagi Uda Rizal Moenir – yang orang Lubuk Basung, banyak sisi-sisi keindahan lokasi di sekitar Sigiran Danau Maninjau itu, bahkan baru pertama kali dilihatnya.
“Takajuik Ambo Fi. Ndak Ambo sangko begitu banyak keindahan yang alun pernah Ambo caliak, walau pun Ambo urang Lubuak Basuang,” ujar Rizal Moenir yang mantan Anggota DPRD Sumbar ini.
Keempat, tentu saja soal cerita dari film ini. Meski di awal terkesan film itu hanya bagisa di lapiak nan sahalai, karena lokasi film lebih dominan di Sigiran Danau Maninjau, namun alur cerita dan endingnya justru sangat memukau. Terbukanya kedok siapa sebenarnya Anwar pegawai dari pabrik sabun Jakarta, menjadi klimaks dari film itu.
Menariknya, terbukanya kedok itu justru saat Anwar sedang di tengah Danau Maninjau sehingga bisa menerima telepon (karena sinyal memang sulit di sana). Menariknya telepon itu datang dari orang Sigiran yang disuruah mencari keluarga Angku Wan ke Jakarta.
Kelima, hampir setiap karakter di film itu, terutama yang berbahasa Minang menunjukkan kemampuan peran yang cukup bagus. Peran si Am (Jose Rizal Manua), Tek Ta (Jajang C Noer), Haji Ilyas (Yusril Katil), Angku Wan (Musra Dahrizal) atau anak muda seperti Mar (Shenina Chinamon) dan Anwar (Eric), tampak mampu dan memang alami dengan perannya masing-masing.
Mungkin di sinilah hebatnya Sutradara Paul Fauzan Agusta (putra dari budayawan Leon Agusta) yang menurut saya pas dan hebat dalam mencari pemain yang sesuai dengan karakter-karakter yang akan dimainkan.
Keenam, inti dari film itu juga menunjukkan betapa bahwa orang Minang itu gigih untuk mencapai tujuannya. Misalnya dengan cara dan karakter orang desa yang terpaksa ‘mangicuah’ untuk tujuan yang baik sebagai mana ditunjukkan karakter Si Am dan Tek Ta serta Da Nas yang orang kantor Wali Nagari.
Lalu Haji Ilyas yang berusaha dengan cara yang benar sesuai kaidah agama yakni dengan menyuruh dua anak bujangnya Huda dan Hadi menelusuri jejak isteri Angku WAN. Dan terakhir faktor alami dan tak sengaja yang mengantarkan cerita film itu ke klimaks yang sebenarnya.
Semuanya pas dan persis seperti karakater orang Minang yang sebenarnya. Gigih. Apakah benar secara adat, agama atau pun apa adanya dan membiarkan Tuhan yang menentukan, pokoknya diusahakan dulu. Tujuannya baik, yakni mewujudkan mimpi-mimpi Angku Wan yang terlanjur cepat berpulang.
Maaf, saya memang bukan seorang penulis resensi film. Tentu saja apa yang saya sampaikan di atas, hanya menulis apa adanya dan apa yang terasa. Dan tentu juga tidak semua yang harus saya tulis. Soal kemudian ada yang kurang pas dengan pandangan kita masing-masing, saya pikir itu manusiawi dan sesuai dengan cara pandang dan tergantung suasana hati kita juga.
Satu kata yang ingin saya garis-bawahi, rasanya rugi jika tidak menonton film ini. Itu saja.
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.