Oleh: Erizal
Mulyadi boleh dibilang memulai dari atas sebagai anggota DPR. Malah, saat mundur lalu karena ingin maju Pilgub, ia memasuki periode ketiga yang baru kurang lebih setahun berjalan.
Sementara Nasrul Abit memulai dari bawah sebagai wakil bupati, bupati dua periode, dan wakil gubernur. Malah lebih bawah lagi dari itu karena berawal dari ASN yang paling bawah.
Mulyadi persis Irwan Prayitno, saat dulu maju tahun 2010. Irwan sudah menjadi anggota DPR sejak 1999. Bedanya, Pilgub 2005 Irwan juga sudah maju, dan kalah oleh Gamawan Fauzi.
Jadi, Pilgub 2010 itu pengalaman kedua kali Irwan. Wajar saja, ia menang karena Gamawan sudah tak ikut maju. Sementara Mulyadi, maju saat ini adalah pengalaman pertamanya.
Selain itu, Irwan Prayitno terbilang sukses karena PKS sebagai partai pengusungnya saat itu, termasuk koalisi pemerintah SBY-Boediono. Jaringan ke pusat kekuasaan, terbilang mulus.
Sementara Mulyadi saat ini, partai pengusung keduanya, Demokrat-PAN, adalah partai oposisi atau setidaknya berada di luar kabinet. Malah, Demokrat seperti tak ada jalan masuk kabinet.
Suka tak suka, porsi besar ada dalam APBN itu masih dibutuhkan Sumatera Barat. Dan itu akan lebih mudah, kalau partai pengusung bersangkutan ada dan eksis dalam kabinet.
Di situlah peluang Nasrul Abit yang diusung Gerindra. Kendati bergerak dari bawah, Nasrul Abit jadi lebih berpeluang. Tidak saja karena basisnya kuat, tapi juga dukungan dari atas.
Apalagi Prabowo terbilang dekat dengan Jokowi. Bisikan Prabowo untuk keunggulan masyarakat Sumbar bakal lebih mungkin didengar. Dan Prabowo, bakal serius untuk itu.
Ada yang bilang wakil gubernur maju belum pernah menang. Jadi, Nasrul Abit yang dari bawah bakal sulit. Tapi, Pilgub itu baru tiga kali, kali ini bukan mustahil sejarah itu akan tertulis.(***)